Di Antara Nyala Lilin dan Layar Ponsel

Sebuah kisah tentang manusia, teknologi, dan waktu yang terus berlari


1. Saat Malam Tidak Lagi Gelap

Di sebuah desa kecil di pinggiran Purworejo, malam tak lagi sepi.
Cahaya ponsel menggantikan lentera, suara notifikasi menembus suara jangkrik. Anak-anak muda duduk di teras, bukan lagi menatap bintang, tapi menatap layar.

Salah satunya adalah Damar, remaja 19 tahun yang baru saja lulus SMA. Ia dulu suka memandangi langit malam, mencari bintang jatuh, berharap bisa kuliah di kota.
Tapi sejak ponselnya terkoneksi internet, langit terasa tak penting lagi. Ia bisa melihat dunia dari layar — cepat, gemerlap, dan tak pernah tidur.

“Kadang aku cuma scroll aja. Gak tahu buat apa,” katanya sambil tersenyum kecil.
Kalimat sederhana yang mewakili jutaan orang lain di negeri ini: hidup dalam dunia yang sibuk tanpa tahu apa yang sedang dikejar.


2. Dunia Dalam Genggaman, Tapi Tak Lagi Dikenal

Teknologi datang seperti hujan deras. Tak memberi waktu untuk menyiapkan payung.
Dalam lima tahun terakhir, hampir semua warga desa Damar punya ponsel pintar. Informasi mengalir deras, tetapi percakapan antarwarga semakin jarang.

Dulu mereka saling menyapa di warung kopi, kini mereka saling typing di grup WhatsApp.
Dulu kabar buruk disampaikan dengan tatapan, kini cukup lewat emoji sedih.

“Semua lebih mudah,” kata Pak Eko, kepala dusun. “Tapi entah kenapa, saya merasa desa jadi lebih sunyi.”

Desa ini seperti cerminan dunia: terkoneksi secara digital, tapi semakin renggang secara emosional.
Bagi sebagian orang, koneksi internet bukan hanya alat, tapi pengganti kehidupan itu sendiri.


3. Ketika Viral Menjadi Tujuan

Suatu hari, Damar dan teman-temannya membuat video sederhana: tarian lucu di tengah sawah. Mereka tidak punya niat besar — hanya ingin bersenang-senang. Tapi entah bagaimana, video itu ditonton ratusan ribu kali.

Baca Juga: kota waktu dan manusia yang hilang, sunyi di era digital ketika dunia ramai, ekonomi digital dan moralitas modern

Sejak saat itu, hidup mereka berubah.
Setiap sore, mereka mencari ide baru untuk membuat konten.
Bukan lagi tentang menanam, atau menolong tetangga, tapi tentang bagaimana caranya agar dilihat lebih banyak orang.

“Rasanya enak banget pas viral,” kata Damar, matanya berbinar. “Kaya semua orang tahu aku ada.”

Tapi seperti semua hal yang terlalu cepat, rasa itu juga cepat hilang.
Video berikutnya tak lagi viral.
Teman-temannya mulai saling menyalahkan, merasa tak cukup lucu, tak cukup menarik.
Yang tersisa hanyalah rasa kosong — semacam kesunyian setelah pesta.


4. Layar yang Memakan Waktu

Di rumahnya, ibu Damar sering duduk di dapur, menatap anaknya yang terus menunduk menatap layar.
Ia tak marah, hanya diam.
“Kalau dulu, jam segini Damar sudah bantu saya jemur gabah,” katanya pelan. “Sekarang dia bantu like orang lain.”

Kalimat itu seperti puisi yang pahit.
Ia tahu dunia berubah, tapi tak tahu bagaimana cara mengikutinya.
Ia mencoba menonton video Damar, tersenyum bangga, tapi di dalam hatinya ada ruang kosong yang sulit dijelaskan.

Waktu berjalan. Hari-hari lewat begitu saja.
Layar yang dulu hanya hiburan kini menjadi dinding antara ibu dan anak.


5. Ketika Dunia Virtual Mengambil Alih Nyata

Suatu sore, listrik di desa padam total.
Sinyal hilang. Baterai ponsel Damar hampir habis.
Ia keluar rumah, menatap sawah yang gelap — dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia melihat langit tanpa cahaya layar.

Bintang-bintang muncul perlahan.
Ia terdiam. Lalu tersenyum kecil.

“Dunia ini masih ada, ya,” gumamnya.

Malam itu, Damar membantu ibunya menyalakan lilin. Mereka makan bersama tanpa suara notifikasi.
Ada tawa yang lama tak terdengar.
Mungkin sederhana, tapi bagi keduanya, malam itu terasa seperti menemukan kembali sesuatu yang hilang.


6. Setelah Nyala Listrik Kembali

Keesokan harinya, listrik menyala lagi.
Sinyal kembali. Dunia maya berputar seperti biasa.
Tapi kali ini, Damar tidak langsung menatap layar. Ia membuka jendela, menghirup udara, lalu menatap ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.

“Aku pengin bikin video lain, Bu,” katanya.
Ibunya tersenyum, “Yang kayak kemarin?”
“Enggak,” jawabnya. “Yang lebih nyata. Tentang orang-orang di sini.”

Dan benar, beberapa hari kemudian ia mengunggah video baru — bukan tarian, bukan lelucon, tapi dokumentasi kehidupan di desanya. Petani menanam, anak-anak bermain, ibu-ibu menumbuk cabai sambil bercanda.

Video itu tidak viral.
Namun di kolom komentar, seseorang menulis:

“Terima kasih, aku jadi ingat rumah.”

Damar menatap komentar itu lama sekali. Ia merasa untuk pertama kalinya, videonya punya arti.


7. Ketika Makna Menang dari Popularitas

Popularitas cepat padam. Tapi makna, meski kecil, bisa bertahan lama.
Apa yang dilakukan Damar mungkin sederhana, tapi itu mengingatkan kita semua: bahwa dunia digital tidak harus menjauhkan kita dari dunia nyata.

Teknologi seharusnya memperkuat kemanusiaan, bukan menghapusnya.
Dan di tengah hiruk pikuk algoritma, masih ada ruang untuk kejujuran — ruang kecil yang bisa menginspirasi lebih dari sekadar trending topic.

Hore168 pernah menulis dalam salah satu refleksinya:

“Semakin cepat dunia berlari, semakin penting kita belajar berhenti sejenak.”

Kata-kata itu kini terasa nyata dalam kehidupan Damar.
Ia tak lagi sibuk mencari sensasi. Ia mulai mencari makna.
Dan di situ, dunia yang dulu terasa gelap kembali punya cahaya — bukan dari layar, tapi dari hati yang sadar.


8. Penutup: Dunia yang Harus Kita Jaga

Malam kembali tiba.
Lilin kecil di dapur masih menyala, meski listrik sudah kembali stabil.
Ibu Damar duduk sambil menatap foto lama suaminya yang dulu meninggal saat musim tanam. Ia tersenyum, lalu memanggil anaknya, “Dam, makan dulu.”

Damar datang, ponselnya diletakkan di meja. Tidak di tangan. Tidak di pangkuan.
Mereka makan dengan tenang, membicarakan hal-hal sederhana: harga gabah, hujan yang belum turun, dan rencana panen bulan depan.

Di luar sana, dunia terus berlari.
Tapi di rumah kecil itu, waktu berjalan pelan.
Dan mungkin, justru di situ letak kebahagiaan yang sesungguhnya.


Hore168 percaya, kisah seperti ini bukan nostalgia, melainkan pengingat:
Bahwa di balik segala kemajuan digital, manusia tetap membutuhkan sentuhan, percakapan, dan kebersamaan nyata.

Karena pada akhirnya, ketika layar mati dan dunia senyap,
yang tersisa bukanlah jumlah pengikut — melainkan orang-orang yang masih mau duduk bersama di bawah cahaya lilin.


on November 01, 2025 by Si Tangan Kilat |