Sebuah cerita reflektif tentang manusia, media, dan kebenaran.
Prolog: Suara dari Balik Ponsel
Malam itu pukul dua belas lewat lima.
Rina menatap layar ponselnya yang terus menyala, notifikasi tak henti berdentang. Sebuah video berdurasi tiga puluh detik — tentang seorang pedagang yang menangis karena dagangannya diusir aparat — menyebar cepat di linimasa.
Dalam hitungan jam, video itu menjadi bahan perdebatan nasional. Tagar-tagar muncul, opini bertabrakan, dan orang-orang mulai menilai tanpa tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.
Rina hanyalah jurnalis muda di sebuah portal berita, dan ia tahu betul: setiap kali sesuatu menjadi viral, jam tidurnya berkurang, tapi trafik situs bertambah.
Namun malam itu, di tengah kekacauan digital yang berisik, ia merasa ada yang berbeda. Ia mulai bertanya: Apakah semua yang viral memang pantas kita sebarkan?
Bab 1: Ledakan yang Dimulai dari Satu Jari
Berita itu awalnya tampak sederhana. Seorang warga merekam insiden kecil di pasar kota. Satu unggahan, satu caption emosional, lalu berlanjut menjadi badai. Orang berkomentar, mengutip, menulis ulang. Setiap pihak merasa punya kebenaran sendiri.
Tak ada yang sempat memeriksa ulang fakta. Semua ingin menjadi yang pertama — karena di dunia digital, yang terlambat berarti tak terlihat.
Bagi Rina, situasi ini terasa seperti deja vu. Ia sudah sering menulis berita serupa. Tetapi kali ini, hatinya berat. Ia tahu jika ia menulis cepat tanpa konfirmasi, artikel itu akan meledak — namun di sisi lain, bisa jadi menambah luka bagi pihak yang salah.
Ia menatap tajuk draft di layarnya:
“Viral! Pedagang Kecil Diusir Tanpa Alasan.”
Judul sempurna untuk mengejar pembaca. Tapi hatinya berbisik: Apakah ini kebenaran, atau hanya gema dari kemarahan kolektif?
Bab 2: Dunia yang Kehausan Sensasi
Pagi datang, berita sudah di mana-mana. Semua media menulis hal yang sama, seolah berlomba. Di jalanan, orang membicarakan video itu. Di kantor, rekan-rekan Rina bangga karena artikel mereka masuk trending.
Namun ada sesuatu yang aneh:
Dalam video lain yang muncul kemudian, ternyata pedagang tersebut memang melanggar aturan lokasi jualan. Aparat tidak salah, hanya salah cara menegur. Tapi tak ada yang tertarik pada klarifikasi itu.
Kebenaran datang terlambat — dan publik sudah terlanjur memilih sisi.
Inilah wajah media masa kini: cepat, ramai, tetapi sering kehilangan kedalaman. Semua berlomba menciptakan sensasi, padahal yang dibutuhkan hanyalah satu hal sederhana: keseimbangan.
Hore168 dalam editorialnya pernah menulis:
“Berita viral bukan selalu tentang benar atau salah. Kadang ia hanyalah cermin dari apa yang publik ingin percayai hari itu.”
Dan kalimat itu kini terngiang di kepala Rina, menampar kesadarannya sendiri.
Bab 3: Ketika Empati Menjadi Komoditas
Hari ketiga setelah video viral, si pedagang diwawancarai media besar. Ia mengaku sudah berdamai, tetapi komentarnya dipotong agar tetap dramatis. “Saya takut berdagang lagi,” katanya, sambil menunduk.
Video itu kembali naik ke trending. Empati pun berubah menjadi tontonan.
Rina mulai menulis ulang artikelnya dengan sudut berbeda — kali ini bukan tentang “korban”, tapi tentang “manusia di balik viralitas”. Ia menulis dengan hati-hati, menelusuri fakta, mewawancarai langsung keluarga sang pedagang, juga aparat yang disebut dalam video.
Di akhir artikelnya, ia menulis:
“Kadang yang kita sebarkan bukan berita, tapi luka yang berulang. Sebelum menekan tombol bagikan, cobalah berpikir sejenak.”
Tulisan itu tidak viral. Tapi bagi Rina, itulah berita terbaik yang pernah ia tulis.
Bab 4: Kelelahan Kolektif di Era Informasi
Minggu berikutnya, muncul lagi isu baru: perdebatan politik, gosip selebriti, rumor tentang kebijakan ekonomi. Semua berlalu seperti ombak, datang dan pergi tanpa sempat direnungkan.
Publik seperti tak lagi punya waktu untuk merasa.
Mereka hanya ingin tahu, ingin bereaksi, ingin ikut bagian dari hiruk pikuk itu.
Rina memperhatikan bahwa banyak pembaca kini tak benar-benar membaca — mereka hanya melihat judul, lalu berkomentar seolah tahu segalanya.
Inilah kelelahan kolektif di era informasi: ketika semua orang sibuk berbicara, tetapi tak ada yang benar-benar mendengarkan.
Dalam salah satu catatan internal redaksi Hore168, tertulis:
“Publik tak butuh lebih banyak berita. Mereka butuh lebih banyak makna.”
Kata-kata itu menjadi prinsip baru bagi Rina. Ia mulai menulis dengan pendekatan naratif, menggabungkan fakta dan cerita manusia. Ia percaya, mungkin dunia tak butuh berita yang viral — tapi butuh kisah yang jujur.
Bab 5: Saat Media Kehilangan Jiwa
Bertahun-tahun bekerja di dunia berita membuat Rina menyadari satu hal: yang paling berbahaya bukan berita palsu, tapi berita kosong — tulisan yang tampak penting tapi tak memiliki ruh.
Ia pernah melihat bagaimana media mengejar rating tanpa memperhatikan dampak sosial. Ia tahu, di ruang redaksi, setiap klik adalah angka, dan setiap angka berarti iklan. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika media hanya mengikuti algoritma, maka manusia yang akan kehilangan arah.
Hore168, dalam salah satu editorialnya, sempat menulis peringatan keras:
“Ketika media berhenti menjadi suara nurani, maka ia hanya akan menjadi gema dari keramaian.”
Rina menempelkan kutipan itu di meja kerjanya, agar tak lupa bahwa jurnalisme sejati bukan tentang siapa yang duluan, melainkan siapa yang benar-benar peduli.
Bab 6: Tentang Harapan di Tengah Kebisingan
Suatu hari, Rina menerima pesan dari pembaca:
“Terima kasih sudah menulis dengan jujur. Saya dulu korban pemberitaan yang salah. Sekarang saya tahu tidak semua wartawan sama.”
Pesan itu sederhana, tapi menghangatkan hati. Ia sadar, di tengah dunia yang semakin sinis, masih ada ruang untuk tulisan yang tulus.
Dan di sanalah makna sejati dari profesinya — bukan sekadar menulis berita, tapi menulis kehidupan.
Ia menutup laptopnya, menatap jendela, lalu berkata pelan:
“Viral boleh lewat. Tapi kebenaran harus tinggal.”
Epilog: Dunia yang Kita Bangun Bersama
Kita hidup di zaman di mana setiap orang bisa menjadi penyebar berita. Tapi tanggung jawab untuk menimbang tetap sama besarnya.
Baca Juga: indonesia 2045 merdeka di dunia yang, tahun 2035 indonesia di antara cahaya, dari tradisi ke teknologi ketika budaya
Bukan hanya jurnalis, tapi juga kita semua — para pembaca, penulis, dan pengguna media sosial.
Setiap kali kita menekan tombol “bagikan”, kita ikut menentukan bentuk dunia informasi yang akan diwariskan.
Apakah dunia yang penuh amarah, atau dunia yang mengedepankan empati?
Apakah dunia yang haus sensasi, atau dunia yang menghargai kebenaran?
Hore168 percaya, masa depan informasi ditentukan oleh kesadaran manusia yang menggunakannya.
Karena pada akhirnya, di tengah semua kecepatan dan hiruk pikuk digital, masih ada satu hal yang tak tergantikan: nurani.
Dan selama nurani itu hidup, masih ada harapan — untuk jurnalisme, untuk publik, dan untuk dunia yang tak pernah tidur.