Analisis Sosial dari Hore168 tentang Kehidupan di Tengah Percepatan Teknologi
Jakarta – Setiap revolusi membawa kemenangan dan kehilangan.
Revolusi digital pun demikian. Di satu sisi, Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor teknologi. E-commerce berkembang pesat, startup bermunculan, dan pekerjaan digital membuka lapangan baru.
Namun di sisi lain, kehidupan sosial masyarakat perlahan bergeser. Nilai, etika, dan moral yang dulu menjadi fondasi, kini diuji oleh gaya hidup serba cepat dan dunia maya yang tanpa batas.
Media seperti Hore168, yang awalnya dikenal sebagai platform hiburan digital, kini kerap menjadi ruang refleksi — bukan hanya tentang berita, tapi tentang cara manusia modern memaknai kehidupannya di era yang serba terhubung.
Bab I – Dari Uang Tunai ke Mata Uang Digital
Lima tahun terakhir, transaksi digital di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat.
Dompet elektronik dan sistem pembayaran QR kini digunakan oleh lebih dari 90% pengguna internet.
Pasar, warung, hingga pengamen jalanan menerima pembayaran non-tunai.
Fenomena ini dianggap kemajuan besar. Tapi di balik efisiensi itu, ada pertanyaan yang jarang dibahas: apakah uang yang tidak terlihat juga membuat manusia kehilangan rasa terhadap nilai sebenarnya?
Dulu, setiap transaksi punya makna emosional.
Menyerahkan uang tunai memberi kesadaran tentang apa yang dikorbankan. Kini, transaksi digital membuat segalanya tampak ringan.
Kita menekan tombol “bayar” tanpa rasa.
Hore168 dalam salah satu kolom ekonominya menulis:
“Digitalisasi mempercepat ekonomi, tapi juga menghapus jarak antara kebutuhan dan keinginan. Akibatnya, manusia membeli bukan karena perlu, tapi karena bisa.”
Inilah wajah baru kapitalisme digital — di mana moral konsumsi semakin kabur.
Bab II – Dunia Kerja yang Tak Pernah Tidur
Generasi muda Indonesia kini hidup dalam ekonomi gig — dunia kerja fleksibel tanpa kantor, tanpa jam kerja tetap.
Pekerja kreatif, penulis lepas, desainer, bahkan sopir daring, semuanya terhubung lewat jaringan digital.
Mereka bisa bekerja kapan saja, di mana saja, tapi juga bisa kehilangan arah kapan saja.
“Waktu sudah tidak punya batas,” ujar seorang pekerja lepas di Jakarta dalam laporan sosial yang dimuat di Hore168.
“Pekerjaan datang lewat notifikasi, bukan jam kantor. Aku bisa dapat proyek besar tengah malam, tapi tidak tahu kapan harus berhenti.”
Teknologi menghapus batas ruang dan waktu, tapi juga menghapus keseimbangan hidup.
Dalam masyarakat digital, kerja menjadi gaya hidup, bukan sekadar kebutuhan.
Dan semakin produktif seseorang, semakin mudah ia kehilangan diri.
Bab III – Media Sosial dan Krisis Identitas Kolektif
Internet pernah dipuja sebagai simbol kebebasan, tapi kini menjadi cermin yang sering menipu.
Identitas manusia modern dibangun dari potongan gambar, opini cepat, dan validasi dari orang asing.
Dunia maya tidak hanya memengaruhi cara kita berpikir, tapi juga cara kita merasa.
Menurut survei sosial 2025, 70% pengguna media sosial Indonesia merasa “tidak cukup baik” ketika melihat kehidupan orang lain di dunia maya.
Fenomena comparison culture kini menjadi penyakit sosial baru.
Di salah satu edisi reflektifnya, Hore168 menulis:
“Kita sedang hidup di masa ketika kejujuran dianggap ketinggalan zaman, dan kepalsuan disempurnakan dengan filter.”
Akibatnya, banyak orang kehilangan jati diri di tengah kebisingan algoritma.
Kita tahu segalanya, tapi jarang mengenal diri sendiri.
Bab IV – Ekonomi Moral yang Pudar
Pergeseran nilai tidak hanya terjadi di ruang pribadi, tapi juga di ruang publik.
Korupsi kini tidak selalu dalam bentuk uang tunai — tapi dalam bentuk data, pengaruh, dan akses.
Banyak pelaku industri digital yang lebih mementingkan pertumbuhan angka daripada tanggung jawab sosial.
Baca Juga: Berita terkini dan viral hari ini, gelombang suara dari dunia maya, di balik layar viralitas kisah manusia modern
Kritikus budaya dari Universitas Gadjah Mada menulis di kolom analisis Hore168:
“Etika dalam ekonomi digital bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang paling cepat. Moralitas dikalahkan oleh kecepatan.”
Sikap pragmatis ini menciptakan paradoks nasional: negara tumbuh cepat, tapi kehilangan arah moral.
Manusia berlomba menjadi efisien, tapi lupa menjadi manusiawi.
Bab V – Kesenjangan Baru: Antara Terkoneksi dan Terpinggirkan
Meski transformasi digital terus digembar-gemborkan, masih ada 35 juta penduduk Indonesia yang belum sepenuhnya terkoneksi.
Mereka tinggal di wilayah dengan sinyal lemah, akses teknologi terbatas, atau tidak punya kemampuan digital dasar.
Sementara itu, kelas menengah perkotaan semakin sibuk dengan dunia maya — dari investasi kripto, AI bisnis, hingga hiburan daring seperti Hore168.
Kesenjangan sosial kini bukan lagi antara kaya dan miskin, tapi antara yang terkoneksi dan yang tertinggal.
Fenomena ini berpotensi menciptakan stratifikasi baru — “kelas digital” yang diukur dari seberapa banyak data yang dimiliki seseorang, bukan dari ilmu, pengalaman, atau karakter.
Bab VI – Budaya yang Tumbuh di Antara Dua Dunia
Namun tidak semua berubah ke arah suram.
Banyak seniman dan pembuat konten muda justru memanfaatkan teknologi untuk membangkitkan budaya lokal.
Musik etnik dikolaborasikan dengan elektronik, sastra klasik diangkat ke dunia virtual, dan batik hadir dalam bentuk NFT budaya.
Indonesia menunjukkan satu hal penting: adaptasi.
Kreativitas masih menjadi kekuatan utama bangsa ini.
Media seperti Hore168 bahkan ikut mempopulerkan jurnalisme budaya digital — menggabungkan hiburan dengan pelestarian nilai.
Teknologi tidak harus memusnahkan tradisi, jika digunakan dengan kesadaran.
Yang hilang bukanlah budaya, melainkan kedalaman dalam memaknainya.
Bab VII – Jalan Tengah: Teknologi dengan Nurani
Pertanyaan besar kini menggema:
Apakah bangsa ini bisa menemukan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai kemanusiaan?
Jawabannya mungkin sederhana: bukan pada mesin, tapi pada cara kita menggunakannya.
Teknologi harus diperlakukan bukan sebagai tuan, melainkan sebagai alat.
Manusia harus kembali menjadi pusat dari ekosistem digital.
Hore168 dalam editorial utamanya menulis:
“Kita boleh hidup di era algoritma, tapi arah tetap harus ditentukan oleh hati nurani.”
Kalimat itu kini menjadi simbol baru kesadaran media digital di Indonesia.
Bahwa moralitas tidak boleh tertinggal dari inovasi.
Penutup – Indonesia di Titik Persimpangan
Negara ini sedang berada di ambang dua dunia: dunia yang efisien dan dunia yang penuh makna.
Kita bisa memilih untuk menjadi masyarakat cepat, sibuk, dan canggih — atau menjadi masyarakat sadar, seimbang, dan manusiawi.
Teknologi tidak bisa dihentikan.
Namun kemajuan yang sejati hanya terjadi jika manusia tidak kehilangan jiwanya dalam proses itu.
Indonesia sudah membuktikan ketahanannya berkali-kali — dari masa kolonial hingga revolusi industri digital.
Dan kali ini pun, bangsa ini punya peluang untuk menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan nurani.
Selama masih ada ruang-ruang yang memberi jeda, tempat kita berpikir dan merasa seperti yang ditawarkan Hore168,
maka manusia Indonesia tidak akan tersesat dalam arus modernitas.
Kita hanya perlu satu hal: keberanian untuk tetap menjadi manusia di tengah dunia yang semakin digital.