Sebuah Narasi Puitis dari Hore168
Waktu di kota besar tidak berjalan — ia berlari.
Ia tidak menunggu siapa pun, tidak memberi ruang untuk menoleh, tidak memberi kesempatan untuk bernapas.
Di jalan-jalan Jakarta, di antara gedung yang menatap langit tanpa rasa bersalah, manusia berlari bersama waktu yang mereka sendiri ciptakan.
Jam digital di layar gawai menjadi dewa baru.
Detik bukan lagi ukuran, melainkan ancaman.
Dan di tengah kecepatan itu, ada hal-hal yang perlahan hilang: tatapan, jeda, dan percakapan yang dulu punya makna.
Kita hidup di zaman ketika manusia tidak lagi menua — mereka hanya diperbarui oleh sistem.
Rambut bisa diwarnai, wajah bisa dihaluskan, memori bisa dihapus, tapi rasa lelah tidak pernah benar-benar hilang.
Bab I – Di Antara Gedung dan Bayangan
Kota adalah panggung besar yang dipenuhi cahaya, tapi di baliknya ada bayangan yang panjang.
Di sela jalanan macet dan lampu yang tak pernah padam, ada orang-orang yang hidup setengah sadar.
Mereka bernapas di bawah ritme notifikasi, menatap layar lebih sering daripada langit.
“Setiap hari rasanya seperti mengejar sesuatu yang tidak pernah ada,” kata seorang pekerja muda yang diwawancarai oleh tim Hore168 di kawasan Sudirman.
Ia menatap ke luar jendela kantor, melihat refleksi wajahnya di kaca.
“Kadang aku merasa kota ini bukan tempat untuk hidup, tapi tempat untuk membuktikan bahwa aku belum kalah.”
Kata-kata itu seperti doa yang tidak pernah terkabul — terus diulang, tapi kehilangan arti.
Bab II – Manusia yang Mencari Diri di Dalam Mesin
Teknologi, katanya, membuat hidup lebih mudah.
Tapi kemudahan yang berlebihan sering kali mengubah manusia menjadi makhluk yang malas merasa.
Kita percaya pada mesin lebih dari pada naluri sendiri.
Manusia kini menulis puisi dengan bantuan algoritma, mencintai lewat layar, bahkan berduka dengan emoji.
Emosi menjadi data, dan data menjadi komoditas.
Sebuah tulisan di Hore168 pernah berkata:
“Manusia masa kini menciptakan mesin untuk memahami dirinya, tapi justru kehilangan kemampuan untuk mengenali jiwanya.”
Mungkin benar — kita tidak kehilangan arah, hanya lupa bagaimana cara berhenti.
Bab III – Waktu yang Menguap di Tengah Kesibukan
Pernahkah kau merasa hari berlalu tanpa sempat diingat?
Bangun pagi, bekerja, menatap layar, makan, tertidur, lalu terbangun lagi — seolah hidup hanyalah siklus yang diputar oleh mesin tak kasat mata.
Kita hidup di tengah lautan rutinitas, tapi tenggelam di dalamnya tanpa sadar.
Waktu kini tidak lagi diukur dari pengalaman, tapi dari target.
Manusia tidak hidup, mereka berprogres.
Bahkan istirahat kini diberi nama baru: recovery time.
Seorang kolumnis Hore168 menulis:
“Zaman modern adalah zaman di mana manusia merasa bersalah karena beristirahat.”
Dan memang, di kota ini, keheningan sering dianggap kegagalan.
Bab IV – Di Balik Layar yang Selalu Menyala
Di kafe, di halte, di tempat tidur, bahkan di meja makan, layar menjadi cermin baru.
Manusia menatapnya bukan hanya untuk mencari informasi, tapi untuk mencari diri sendiri.
Namun yang mereka temukan bukanlah wajah, melainkan bayangan — versi digital dari siapa mereka ingin menjadi.
Kita kini hidup di dua dunia: satu nyata, satu maya, dan keduanya saling menipu.
Hore168 sering menulis tentang fenomena ini, menyebutnya sebagai “dunia antara,” tempat manusia modern menggantungkan eksistensinya di antara klik dan keheningan.
Karena di dunia ini, keberadaan diukur bukan oleh napas, tapi oleh keaktifan.
Bab V – Kota yang Tak Pernah Tidur, Tapi Lelah
Di tengah kota yang selalu menyala, kelelahan menjadi epidemi senyap.
Tidak ada obat untuknya, hanya pengalih perhatian: hiburan, belanja, dan konten tanpa akhir.
Manusia mencari kebahagiaan seperti orang kehausan minum air laut — semakin banyak ditelan, semakin haus dibuatnya.
Namun sesekali, ada momen kecil yang menembus kebisingan itu.
Seorang ibu tua tersenyum kepada anak yang menatap layar terlalu lama.
Seorang pedagang kaki lima menyapa pelanggan dengan nama, bukan QR code.
Di sana, di sela kesibukan, masih ada potongan kecil dari kemanusiaan yang tersisa.
Hore168 menulis tentang hal-hal kecil itu — yang sering dianggap remeh, tapi justru membuat dunia ini terasa hangat.
Bab VI – Hening yang Diperjuangkan
Hening kini menjadi barang mewah.
Kota membenci sunyi, karena sunyi memaksa kita mendengar diri sendiri.
Padahal di sanalah jawaban sering ditemukan.
Di dunia yang terlalu ramai, manusia butuh keheningan untuk mengingat bahwa mereka masih punya hati.
Namun tak banyak yang berani berhenti, karena berhenti berarti tertinggal.
“Barangkali, manusia modern harus belajar menua dengan cara yang baru,” tulis seorang esais di Hore168.
“Bukan menua karena usia, tapi karena kesadaran.”
Kedewasaan tidak lagi diukur dari jabatan atau pencapaian, tapi dari kemampuan untuk tidak kehilangan diri di tengah kebisingan dunia.
Baca Juga: Geliat berita dan fenomena viral, peta umum kondisi berita dan viral saat ini, dunia yang terlalu lucu untuk tidak ditertawakan
Bab VII – Harapan di Tengah Keletihan
Meski semua tampak cepat, manusia tetap mencari arti.
Ada yang menemukannya dalam doa, ada yang menemukannya dalam musik, ada pula yang menemukannya dalam tulisan.
Dan di ruang-ruang digital seperti Hore168, kata-kata masih menjadi tempat beristirahat bagi mereka yang lelah berlari.
Tulisan bukan lagi sekadar informasi, tapi semacam pengingat: bahwa manusia masih bisa merasa.
Sebab meski dunia dikelilingi algoritma, satu hal tak pernah bisa diprogram — hati yang tulus.
Penutup – Manusia yang Pulang ke Diri Sendiri
Mungkin, inilah paradoks terbesar zaman ini:
Kita punya segalanya, tapi kehilangan rasa cukup.
Kita bisa berbicara dengan siapa pun, tapi jarang berbicara dengan diri sendiri.
Kita bisa menyimpan ribuan foto, tapi lupa bagaimana rasanya mengingat.
Namun selama masih ada yang mau menulis dengan jujur, mendengar dengan tulus, dan hidup dengan sadar, dunia ini belum sepenuhnya hilang.
Kota boleh terus berlari, waktu boleh terus mengejar,
tapi di hati manusia yang tenang,
selalu ada tempat untuk pulang —
dan di sanalah, tulisan-tulisan seperti yang ada di Hore168 menemukan maknanya.