Sebuah Laporan Imajiner dari Masa Depan oleh Hore168
Jakarta, tahun 2035.
Langit pagi tampak seperti layar hologram raksasa — menampilkan iklan digital, berita terbaru, dan pesan publik dari pemerintah kota.
Mobil-mobil tanpa pengemudi melintas dengan sunyi di jalur bawah tanah, sementara manusia di atasnya bergerak cepat, sibuk menatap lensa pintar di mata mereka.
Semua orang terhubung. Semua orang terkoneksi.
Namun di tengah konektivitas sempurna itu, terdengar sesuatu yang pelan tapi nyata: sunyi.
Bab I – Dunia yang Selalu Online
Sejak pemerintah meluncurkan proyek “Indonesia Digital Merdeka” lima tahun lalu, semua wilayah sudah tersambung dengan jaringan ultra 7G.
Sekolah, kantor, rumah ibadah — semua diintegrasikan dengan sistem kecerdasan buatan nasional bernama GarudaNet.
Tak ada lagi daerah tertinggal, setidaknya di atas kertas.
Namun, semakin dunia terkoneksi, semakin kabur batas antara realitas dan ilusi.
Setiap warga kini memiliki “Identitas Digital Tunggal,” sebuah akun yang mencatat seluruh aktivitas hidupnya — dari catatan medis, transaksi ekonomi, hingga riwayat percakapan.
Privasi berubah menjadi mata uang langka.
Di tengah sistem yang serba otomatis ini, Hore168 tetap hidup — bukan sekadar portal hiburan, tapi kini menjadi “arsip memori kolektif bangsa.”
Ia menyimpan kisah manusia di balik data: cerita-cerita kecil tentang tawa, kehilangan, cinta, dan perjuangan — sesuatu yang tak bisa dimengerti oleh mesin.
Bab II – Manusia dan Mesin yang Semakin Serupa
Di kampus Universitas Nusantara Jakarta, seorang mahasiswa bernama Dimas menulis skripsi berjudul “Empati Buatan: Studi Tentang AI dan Moralitas.”
Ia bercerita bahwa pada tahun 2032, perusahaan global berhasil menciptakan kecerdasan buatan yang mampu merasakan emosi manusia — setidaknya menirunya dengan sempurna.
AI kini menulis puisi, menciptakan lukisan, bahkan menjadi terapis mental virtual.
Namun ketika mesin bisa meniru empati, muncul pertanyaan:
Apakah manusia masih unik?
Dimas menulis di artikelnya yang sempat viral di Hore168:
“Kita menciptakan mesin untuk meniru perasaan, tapi justru kehilangan kemampuan untuk merasakannya sendiri.”
Di masa depan, batas antara manusia dan teknologi semakin tipis — bukan karena mesin semakin manusiawi, tetapi karena manusia mulai berpikir seperti mesin: efisien, cepat, tapi dingin.
Bab III – Kota yang Tak Pernah Tidur
Malam hari di Jakarta kini bukan lagi waktu untuk istirahat.
Lampu kota tak pernah padam, karena sistem City Grid mengatur intensitas cahaya sesuai jumlah pejalan kaki yang lewat.
Di ketinggian, drone logistik terbang membawa paket dengan kecepatan suara.
Sementara di ruang bawah tanah, ribuan pekerja digital lepas mengerjakan proyek global — sebagian menulis artikel, sebagian membuat konten hiburan, sebagian mengoperasikan server hiburan virtual seperti milik Hore168.
Hore168, pada tahun 2035, berevolusi menjadi jaringan interaktif berbasis emosi.
Ia bisa mengenali mood pembaca dan menyesuaikan tone artikelnya secara real-time.
Namun di balik kemajuan itu, redaksi kecilnya tetap dijalankan oleh manusia — karena mesin belum bisa menulis dengan jiwa.
“Kami percaya masih ada hal yang tak bisa dikalkulasi: perasaan,” ujar salah satu redaktur senior Hore168.
Dan mungkin, itu alasan mengapa media ini tetap bertahan, bahkan di zaman ketika berita ditulis oleh algoritma.
Bab IV – Ekonomi Tanpa Kas, Tapi Tidak Tanpa Harga
Masyarakat kini hidup di dunia tanpa uang tunai. Semua transaksi dilakukan melalui chip biometrik di tangan.
Namun keadilan ekonomi belum tercapai.
Yang menguasai data menguasai segalanya.
Dan mereka yang tidak paham sistem digital — tertinggal jauh di belakang.
Pekerjaan manual hampir punah.
Namun lapangan kerja baru justru muncul di bidang yang tak pernah ada sebelumnya: kurator emosi digital, pengembang kesadaran mesin, moderator etika algoritmik.
Dalam salah satu laporan investigatif Hore168, ditemukan bahwa banyak masyarakat kelas bawah kini bekerja di sektor simulasi realitas, di mana mereka dibayar untuk menjalani “kehidupan virtual” sebagai hiburan bagi kaum elit.
Mereka hidup di dunia maya delapan jam sehari — menjalani peran, bercakap dengan karakter AI, bahkan menangis di bawah naskah yang bukan milik mereka.
Teknologi menciptakan pekerjaan, tapi juga ilusi.
Bab V – Ketika Kebudayaan Menjadi Data
Di Yogyakarta, sekelompok seniman muda menciptakan proyek “Museum Jiwa.”
Mereka memindai ribuan naskah kuno, lagu rakyat, dan cerita daerah untuk disimpan di jaringan blockchain budaya nasional.
Tujuannya sederhana: memastikan sejarah tidak hilang dihapus sistem otomatis.
Namun mereka sadar, budaya bukan sekadar arsip — ia adalah pengalaman.
Dan pengalaman tidak bisa diunduh.
Salah satu kurator digital berkata dalam wawancara eksklusif Hore168:
“Kita menyimpan data budaya, tapi lupa hidup di dalamnya.”
Baca Juga: Wajah-wajah di balik viralitas cerita, viralitas manipulasi dan kekuatan opini, gelombang viral dan panggung baru
Di masa depan ini, manusia punya semua rekaman masa lalu, tapi kehilangan kemampuan untuk menghidupkannya kembali.
Bab VI – Krisis Kemanusiaan di Era Kemajuan
Kemajuan sering datang dengan wajah dingin.
Kesejahteraan meningkat, tapi kehangatan berkurang.
Kehidupan serba efisien, tapi kesepian menjadi epidemi global.
Pemerintah membangun “Klinik Koneksi Sosial” — tempat orang berkonsultasi karena kehilangan kemampuan berbicara tatap muka.
AI menjadi sahabat, penghibur, bahkan pasangan virtual.
Namun dari balik layar, muncul gerakan baru: Gerakan Manusia Analog.
Komunitas ini menolak hidup sepenuhnya di dunia maya.
Mereka berkumpul tanpa gawai, berbagi makanan, menulis surat tangan, dan membaca koran fisik yang dicetak ulang oleh komunitas independen — termasuk versi cetak bulanan dari Hore168.
Dalam dunia yang makin digital, mereka berusaha mengembalikan makna paling sederhana dari kata “bersama.”
Bab VII – Harapan yang Tidak Bisa Diotomatisasi
Tahun 2035 adalah tahun paling digital dalam sejarah Indonesia — tapi juga tahun paling manusiawi bagi mereka yang sadar.
Manusia mulai menyadari bahwa teknologi hanyalah cermin: ia menampilkan yang terbaik dan terburuk dari kita.
Ketika mesin semakin pintar, tugas manusia bukan lagi menjadi lebih cepat, tapi menjadi lebih dalam.
Lebih peka, lebih bijak, lebih sadar akan arti hidup di dunia yang nyaris sepenuhnya maya.
Dan seperti yang pernah ditulis di editorial Hore168:
“Teknologi akan terus berubah. Tapi manusia akan selalu mencari satu hal yang sama — arti.”
Penutup – Sebuah Catatan dari Masa Depan
2035 bukan tentang mesin yang menggantikan manusia.
Ini tentang manusia yang belajar kembali menjadi manusia, setelah bertahun-tahun mencoba menjadi mesin.
Indonesia, dengan segala paradoks dan keragamannya, akan terus tumbuh di antara layar dan langit.
Dan selama masih ada tempat seperti Hore168 — tempat cerita dikisahkan dengan hati, bukan hanya data — maka masa depan bukanlah akhir dari kemanusiaan,
melainkan bab baru tentang bagaimana teknologi dan jiwa bisa berjalan berdampingan.