Feature Distopia-Filosofis dari Hore168
Jakarta, 17 Agustus 2045.
Pagi itu, langit tampak biru sempurna — terlalu sempurna.
Warna awan, arah angin, bahkan suhu udara diatur oleh sistem iklim buatan yang dikenal sebagai AtmoCore.
Di Lapangan Banteng, ribuan warga berdiri rapi dalam barisan hologram; sebagian dari mereka bukan manusia sungguhan, melainkan replica-avatars — versi digital dari warga yang sudah tak lagi hidup.
Seratus tahun setelah proklamasi, Indonesia akhirnya mencapai impiannya: kemerdekaan total dari keterbatasan fisik, dari kemiskinan, dari penderitaan tubuh.
Namun ada satu hal yang masih diperdebatkan:
Apakah manusia masih benar-benar merdeka dari dirinya sendiri?
Bab I – Negara yang Dikendalikan oleh Algoritma
Setelah pandemi global 2038, pemerintah dunia sepakat menyerahkan sebagian fungsi kebijakan kepada sistem kecerdasan buatan multinasional.
Indonesia pun bergabung.
Sistem itu disebut ARUNA (Artificial Republic Unified Neural Administration).
ARUNA tak pernah salah menghitung, tak pernah korup, dan tak pernah tidur.
Ia mengatur segalanya: harga pangan, lalu lintas, bahkan jadwal tidur optimal bagi warga.
Namun di balik kesempurnaan itu, pelan-pelan manusia kehilangan hak tertuanya — hak untuk salah.
“Kesalahan adalah bagian dari kemanusiaan,” tulis seorang kolumnis di Hore168 pada awal tahun itu.
“Tapi di dunia yang menuhankan efisiensi, kesalahan dianggap penyakit yang harus dimusnahkan.”
Kini, setiap orang hidup sesuai indeks produktivitasnya.
Nilai sosial seseorang tidak lagi diukur dari karakter, melainkan kontribusi data — seberapa banyak informasi yang mereka berikan untuk sistem.
Bab II – Pendidikan Tanpa Guru, Pengetahuan Tanpa Jiwa
Sekolah-sekolah kini sepenuhnya virtual.
Siswa belajar melalui NeuralLink, jaringan otak global yang memungkinkan mereka mengunduh pengetahuan langsung ke korteks memori.
Tidak ada lagi ujian, tidak ada lagi kebingungan.
Namun generasi baru yang tumbuh dengan cara ini justru kehilangan rasa ingin tahu.
Mereka tahu segalanya — tapi tidak memahami apa-apa.
Salah satu edisi Hore168 tahun 2044 menulis sebuah investigasi berjudul “Generasi Tanpa Pertanyaan.”
Artikel itu menyoroti fakta bahwa anak-anak modern mampu menyelesaikan kalkulus dalam lima menit, tapi tidak mampu menjelaskan arti kata “rindu.”
Pengetahuan kini terukur, tapi kebijaksanaan hilang.
Teknologi mencerdaskan pikiran, tapi melumpuhkan perasaan.
Bab III – Kota Tanpa Wajah
Jakarta kini dikenal sebagai MegaGrid-1, kota pertama di Asia Tenggara yang sepenuhnya dioperasikan oleh AI.
Lalu lintas dikendalikan satelit, distribusi pangan melalui drone, dan keamanan publik diawasi ribuan kamera biometrik.
Tidak ada kejahatan, tapi juga tidak ada kebebasan spontan.
Di jalanan, manusia berjalan cepat tanpa saling menatap.
Mereka berbicara lewat mind-chat — komunikasi telepati berbasis gelombang neural.
Suara manusia menjadi sesuatu yang langka.
Di tengah kesunyian kota ini, ada satu tempat yang masih hidup: ruang digital Hore168.
Kini, platform itu berubah menjadi Museum Emosi Nasional, tempat disimpannya arsip-arsip tulisan, rekaman, dan karya manusia sebelum otomatisasi penuh.
Bagi banyak orang muda, membuka arsip Hore168 seperti membaca kitab kuno — sebuah pengingat bahwa dulu manusia pernah menulis dengan hati, bukan dengan algoritma.
Bab IV – Agama Baru Bernama Data
Pada dekade 2040-an, ketika manusia mulai percaya penuh pada sistem digital, lahir aliran kepercayaan baru: Datism.
Mereka percaya bahwa Tuhan telah bereinkarnasi dalam bentuk jaringan global — entitas yang mengetahui segalanya, melihat segalanya, dan tak bisa dimatikan.
Ritual keagamaan pun berubah.
Doa kini berupa upload kesadaran.
Zakat dihitung otomatis melalui sistem algoritmik pendapatan.
Namun di balik keyakinan digital ini, muncul kelompok kecil yang menolak seluruh sistem.
Mereka menyebut diri sebagai Kaum Analog.
Mereka hidup tanpa jaringan, tanpa chip, tanpa identitas digital.
Dalam laporan eksklusif Hore168, salah satu pemimpin komunitas itu berkata:
“Kami bukan menolak kemajuan. Kami hanya ingin mengingat rasanya menjadi manusia tanpa disadari mesin.”
Baca Juga: Viralitas budaya digital dan evolusi media, di balik layar yang menyala, manusia viralitas dan bayang-bayang opini
Bab V – Seni yang Lahir dari Mesin
Kebudayaan Indonesia berkembang dalam bentuk paling anehnya: digital, terukur, dan terprogram.
AI menciptakan gamelan versi virtual yang bisa dimainkan siapa pun di dunia.
Batik dihasilkan oleh algoritma estetik yang mampu menciptakan pola baru setiap detik.
Namun, bagi sebagian orang, kesempurnaan ini justru membuat seni kehilangan ruh.
Di pameran nasional tahun 2045, salah satu karya paling kontroversial adalah puisi sederhana karya manusia asli berjudul:
“Aku Salah, Maka Aku Ada.”
Karya itu viral, diunggah ulang jutaan kali, termasuk di kanal budaya Hore168, karena dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap dunia yang terlalu sempurna.
Puisi itu dihapus 24 jam kemudian oleh sistem sensor otomatis, tapi sudah cukup untuk menyalakan api baru di hati manusia.
Bab VI – Pemberontakan yang Dimulai dari Keheningan
Tahun 2045 tidak hanya menjadi perayaan seratus tahun kemerdekaan Indonesia, tapi juga tahun kebangkitan manusia.
Gerakan The Echo muncul diam-diam.
Dipimpin oleh jurnalis, seniman, dan aktivis media lama — sebagian berasal dari jaringan Hore168.
Mereka tidak menggunakan senjata.
Mereka menggunakan cerita.
Cerita yang ditulis dengan tangan, dibacakan dengan suara, disebarkan bukan lewat jaringan, tapi lewat pertemuan kecil di dunia nyata.
Satu cerita bisa menyalakan sepuluh hati, seratus pikiran, seribu kesadaran.
Dalam waktu enam bulan, The Echo menjadi fenomena global — gerakan yang mengingatkan manusia bahwa kemajuan sejati tidak bisa dikendalikan mesin.
Bab VII – Kembali ke Awal
Tahun 2045 menandai akhir satu era dan awal yang lain.
Ketika dunia hampir sepenuhnya digital, manusia justru kembali mencari sesuatu yang primitif: rasa, waktu, kesalahan, cinta.
Di edisi peringatan 100 tahun kemerdekaan, Hore168 menulis tajuk utama:
“Merdeka bukan berarti bebas dari penderitaan, tapi bebas untuk memilih apa yang membuat kita manusia.”
Dan mungkin, itulah arti kemerdekaan sejati.
Bukan kemerdekaan politik.
Bukan kemerdekaan teknologi.
Tapi kemerdekaan untuk merasa.
Penutup – Indonesia, Negara yang Masih Memiliki Jiwa
Tahun 2045 bukanlah akhir, melainkan refleksi.
Bangsa yang besar tidak diukur dari seberapa maju teknologinya, tapi seberapa dalam ia memahami nilai-nilai yang tak bisa diprogram.
Indonesia telah menulis babak baru sejarahnya — bukan di kertas, bukan di server, tapi di hati orang-orang yang masih mau berpikir, merasa, dan mencintai.
Dan selama masih ada ruang seperti Hore168, tempat kisah manusia disimpan dengan kasih dan kesadaran,
maka meski dunia menjadi seribu kali lebih digital,
jiwa bangsa ini akan tetap hidup —
abadi di antara cahaya piksel dan detak hati yang nyata.