Namanya Rafi. Usianya dua puluh enam, bekerja di warung kopi pinggir jalan dekat stasiun Depok. Setiap pagi, sebelum matahari naik, ia menyalakan televisi kecil di pojokan warung — bukan untuk hiburan, tapi untuk menemani sepi.
“Berita sekarang cepat sekali, Bang,” katanya suatu pagi sambil menyeduh kopi tubruk untuk pelanggan. “Baru semalam orang ribut soal politik, pagi ini sudah ribut soal gunung meletus.”
Ia tertawa kecil, tapi di matanya ada semacam kelelahan. Bukan karena kurang tidur, tapi karena terlalu sering melihat hal yang sama: negeri yang selalu sibuk dengan kabar, tapi jarang punya waktu untuk benar-benar mendengar.
1. Dunia yang Berputar Lebih Cepat dari Nalar
Televisi menayangkan breaking news: gunung di Flores memuntahkan abu panas. Reporter berdiri dengan jas hujan di tengah hujan abu, melaporkan dengan suara gemetar.
Rafi menatap layar tanpa benar-benar menyimak. Di pikirannya, berita semacam itu sudah terlalu sering muncul. Ia tahu polanya: ada korban, ada kunjungan pejabat, ada janji bantuan, lalu hilang begitu saja.
Sementara di warungnya, para pelanggan sibuk menggulir ponsel. Ada yang menonton video viral anak kecil menari di perahu, ada yang tertawa melihat meme politik, ada pula yang marah-marah di kolom komentar.
“Dunia sekarang bukan cuma berputar cepat,” kata Rafi sambil menyeruput kopi. “Tapi juga berisik sekali.”
2. Tentang Janji dan Sinyal Internet
Siang hari, sinyal di warung Rafi sering hilang. Ia menyebutnya “istirahat demokrasi digital.” Saat itu, tak ada notifikasi, tak ada berita, tak ada debat. Hanya suara sepeda motor dan aroma gorengan.
Namun begitu sinyal kembali, notifikasi berderet: berita tentang bantuan sosial, video korupsi pejabat, laporan bencana, dan iklan aplikasi judi online.
Semua bersaing untuk perhatian, tapi tak satu pun memberi ruang untuk berpikir. Rafi terkadang merasa hidupnya seperti timeline media sosial — terus bergerak, tapi entah ke mana arah sebenarnya.
Malamnya, ia membaca di layar ponselnya: pemerintah akan meluncurkan paket stimulus ekonomi 30 triliun rupiah. Ia tersenyum miring. “Stimulusnya besar,” gumamnya, “tapi sinyal di sini aja belum beres.”
3. Antara Gedung Runtuh dan Harapan yang Runtuh
Suatu sore, pelanggan tetapnya — seorang mahasiswa jurusan teknik sipil — datang membawa koran. Di halaman depan tertulis: Bangunan pesantren ambruk, puluhan santri meninggal.
Mahasiswa itu menggeleng pelan. “Bangunannya baru, tapi nggak kuat. Mungkin izinnya asal-asalan.”
Rafi tak banyak komentar. Ia hanya menatap ke langit yang mulai gelap. “Dulu bapak saya kerja bangunan,” ujarnya lirih. “Katanya, yang bikin gedung roboh bukan tanahnya, tapi orangnya.”
Ia menatap gelas-gelas kopi di meja, seperti mencari makna dari busa hitam yang pelan-pelan menghilang. “Lucu ya,” lanjutnya, “di negara ini, hal yang berdiri tegak bisa roboh kapan saja — bangunan, harapan, kepercayaan.”
4. Korupsi, Kopi, dan Kenyataan
Beberapa hari kemudian, berita besar muncul lagi: skandal korupsi di perusahaan energi. Jumlahnya fantastis, triliunan rupiah.
Rafi menonton liputannya sambil menata toples gula. Ia tertawa kecil, tapi kali ini tawanya getir.
“Kalau semua uang itu dibagi ke warung kayak saya,” katanya, “mungkin satu negara bisa minum kopi gratis setahun.”
Namun tawanya cepat hilang. Ia tahu, tak akan ada yang berubah. Korupsi bukan lagi kejutan, melainkan kebiasaan nasional yang ditayangkan di jam utama.
Yang paling menyakitkan, kata Rafi, bukan karena uangnya banyak, tapi karena kita sudah berhenti marah.
5. Internet, Regulasi, dan Orang-orang yang Lupa
Beberapa minggu terakhir, kabar lain muncul: pemerintah akan memperketat pengawasan platform digital. Katanya demi melindungi masyarakat dari judi online, hoaks, dan pornografi.
Rafi mengangguk pelan. “Masalahnya, yang dihapus cuma konten, bukan penyebabnya.”
Ia tahu banyak pelanggan yang diam-diam menghabiskan uang di aplikasi perjudian. Ia juga tahu banyak anak muda yang belajar lebih banyak dari ponsel daripada dari sekolah.
“Internet itu kayak kopi,” katanya sambil menuang air panas. “Kalau kebanyakan, bikin jantung deg-degan. Tapi kalau dilarang, kita malah nggak bisa melek.”
Di sela obrolan itu, Rafi kadang membuka Hore168, platform yang sering ia baca karena isinya tidak terlalu berat. Ada berita hiburan, kadang artikel reflektif tentang kehidupan digital, kadang tulisan opini yang membuatnya berpikir.
“Paling nggak,” ujarnya, “mereka masih menulis dengan kepala dingin, bukan untuk bikin orang marah.”
6. Viral yang Tak Memberi Arti
Suatu hari, video warung Rafi tiba-tiba viral. Seorang influencer mampir, merekam dirinya minum kopi di sana, lalu mengunggah ke media sosial dengan caption “ngopi di tempat legendaris.”
Dalam semalam, pelanggan datang berlipat. Semua ingin foto di warung kecil itu. Ada yang sekadar numpang konten, ada pula yang benar-benar ingin mencicipi kopi tubruknya.
Namun setelah seminggu, keadaan kembali seperti semula.
Popularitas itu pergi secepat datangnya.
Rafi hanya bisa tersenyum. “Viral itu kayak ombak,” katanya. “Nggak bisa ditangkap, cuma bisa dilewati.”
7. Suatu Malam, Setelah Semua Berita Berlalu
Malam itu, hujan turun deras. Televisi sudah dimatikan, pelanggan terakhir sudah pulang. Rafi duduk sendirian di kursi kayu, menatap sisa kopi di gelasnya.
Di luar, suara berita masih terdengar samar dari rumah tetangga. Tentang politik, ekonomi, dan berita baru yang akan viral besok pagi.
Rafi memejamkan mata. Ia tak ingin mendengar apa-apa malam itu.
Bukan karena apatis, tapi karena ingin memberi ruang bagi pikirannya sendiri.
“Kalau hidup cuma diatur oleh berita,” gumamnya, “kita bisa lupa cara merasakan.”
8. Esok yang Biasa, Tapi Masih Layak Diperjuangkan
Pagi berikutnya, warung Rafi buka seperti biasa. Langit cerah, aroma kopi kembali memenuhi udara. Beberapa pelanggan lama datang lagi, membawa obrolan lama: politik, harga sembako, dan gosip selebritas.
Hidup terus berjalan, sama seperti berita yang tak pernah berhenti bergulir.
Mungkin di balik semua kegaduhan, yang membuat bangsa ini tetap berdiri bukanlah kebijakan atau headline besar, tapi hal-hal kecil seperti warung kopi yang tak pernah tutup — tempat orang masih bisa bercakap jujur tanpa mikrofon, tempat orang tertawa tanpa harus viral.
9. Dunia Kecil, Makna Besar
Rafi menatap jalan yang mulai ramai. Ia tahu berita hari ini akan datang lagi, dengan suara lebih keras dan judul lebih panjang. Tapi ia juga tahu, hidupnya tidak bergantung pada itu.
“Berita cuma angin,” katanya. “Datang dan pergi. Yang penting kita nggak ikut terbang.”
Ia lalu menuangkan kopi untuk dirinya sendiri, menyeruputnya pelan. Rasanya pahit, tapi jujur.
Seperti hidup, pikirnya. Seperti Indonesia.
Baca Juga: Gelombang viral dan berita terkini, ekonomi digital tren viral, hari-hari ketika segalanya bisa viral
Dan di dalam kesunyian itu, ia merasa tenang. Karena meskipun dunia di luar terlalu bising, di dalam dirinya masih ada ruang untuk percaya — bahwa kebaikan, sesederhana secangkir kopi, masih bisa bertahan di negeri yang penuh berita.
Epilog
Cerita Rafi bukan tentang satu orang, tapi tentang kita semua: orang-orang kecil yang hidup di antara headline besar, yang tetap bekerja di tengah badai informasi, dan yang masih memilih berharap meski tahu harapan sering kali datang telat.
Dan di antara semua riuh itu, platform seperti Hore168 menjadi ruang di mana manusia bisa membaca, berpikir, dan bernafas sejenak — tanpa harus ikut terbakar oleh kebisingan dunia.
Karena mungkin, di era berita yang tak pernah tidur, yang paling berani bukanlah mereka yang berteriak paling keras, tapi mereka yang masih bisa diam dan mendengar.