Manusia di Tengah Gelombang Berita

Di sebuah gang kecil di pinggiran Bekasi, suara radio masih terdengar lirih dari dapur rumah seorang ibu bernama Sulastri. Ia sedang menanak nasi sambil mendengarkan berita pagi yang mengabarkan bantuan sosial akan segera turun. “Katanya minggu ini cair,” ujarnya pelan, antara percaya dan pasrah.

Ia tidak tahu bahwa di hari yang sama, di layar televisi nasional, seorang pejabat tengah berpidato tentang pertumbuhan ekonomi, subsidi energi, dan rencana pembangunan kawasan industri baru. Dunia ibu Sulastri dan dunia sang pejabat sama-sama nyata, tapi jaraknya lebih jauh daripada ribuan kilometer.


1. Antara Data dan Perut yang Kosong

Indonesia hari ini penuh dengan angka. Lima persen pertumbuhan ekonomi, tiga puluh triliun stimulus, ratusan ribu lapangan kerja baru. Setiap pidato resmi terdengar seperti puisi tentang kemajuan. Tapi di ruang-ruang kecil seperti rumah ibu Sulastri, angka-angka itu tidak berwujud apa-apa.

Yang hadir justru rasa cemas: harga sembako naik, biaya sekolah anak menunggak, dan listrik prabayar hampir habis. “Saya tidak butuh tahu persentase ekonomi, saya butuh tahu kapan hidup jadi sedikit lebih mudah,” katanya, setengah bercanda, setengah menyerah.

Di negeri ini, pembangunan kadang terdengar seperti lagu yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya televisi layar besar dan koneksi internet stabil.


2. Gunung yang Batuk dan Negeri yang Lupa

Ribuan kilometer dari sana, di Flores Timur, Gunung Lewotobi Laki Laki kembali melepaskan abu panas. Desa-desa diselimuti debu, jalan-jalan tertutup pasir vulkanik, dan warga mengungsi ke balai desa.

Bencana di Indonesia seperti kalender: selalu datang bergantian. Kadang banjir di Kalimantan, kadang gempa di Papua, kadang tanah longsor di Jawa Barat. Setiap kali itu terjadi, berita datang deras. Kamera televisi meliput, influencer mengunggah doa, dan semua orang merasa peduli.

Tapi perhatian kita singkat. Begitu trending-nya berganti, kisah para korban tenggelam bersama debu yang turun.

Negeri ini ahli berempati sesaat, tapi gagap dalam menjaga ingatan jangka panjang. Padahal setiap bencana menyimpan pesan yang sama: bahwa kesiapsiagaan bukan sekadar alat berat dan posko darurat, melainkan kebiasaan untuk peduli sebelum terlambat.


3. Gedung yang Runtuh, Moral yang Retak

Beberapa minggu setelah berita letusan gunung, tragedi lain datang — sebuah pesantren di Sidoarjo ambruk. Puluhan santri meninggal dunia.

Sama seperti bencana lain, peristiwa ini cepat menjadi headline, cepat pula dilupakan. Pejabat datang membawa karangan bunga, kamera menyorot wajah sedih, lalu semua berlalu begitu saja.

Di balik reruntuhan itu, ada sistem yang lebih rapuh dari bangunannya: pengawasan publik yang lemah, izin konstruksi yang longgar, dan mentalitas asal jadi.

Ketika nyawa manusia hanya dihitung sebagai statistik, maka yang runtuh bukan hanya tembok, tapi juga rasa hormat terhadap hidup.


4. Uang dan Luka yang Tak Sembuh

Beberapa bulan terakhir, publik diguncang kabar korupsi besar di sektor energi. Triliunan rupiah uang negara menguap. Rakyat bertanya, “Berapa banyak lagi yang harus hilang sebelum seseorang benar-benar bertanggung jawab?”

Korupsi di Indonesia seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Setiap kali dibuka, keluar darah baru.

Kita punya banyak lembaga pengawasan, tapi hanya sedikit yang berani melawan arus. Kita punya banyak undang-undang, tapi lebih banyak celah di antaranya.

Dan yang paling menakutkan bukanlah besarnya uang yang dicuri, melainkan kecilnya rasa malu yang tersisa.


5. Dunia Digital: Arena Baru untuk Pertarungan Lama

Dulu, kekuasaan ditentukan oleh siapa yang memiliki televisi. Kini, ia ditentukan oleh siapa yang menguasai algoritma. Dunia maya menjadi ruang baru di mana opini, kebijakan, bahkan reputasi bisa dibentuk dalam hitungan menit.

Namun ruang itu juga penuh jebakan. Di balik kebebasan berbicara, tersembunyi perang diam antara kebijakan dan kebebasan. Pemerintah menekan platform besar agar menghapus konten berbahaya, sementara pengguna menuduh pemerintah membatasi suara rakyat.

Internet yang dulu dijanjikan sebagai tempat kebebasan, kini berubah menjadi medan negosiasi kekuasaan.

Di tengah kebingungan itu, muncul platform berita dan hiburan alternatif seperti Hore168 — ruang yang mencoba menyeimbangkan antara kebebasan informasi dan tanggung jawab sosial. Di sana, berita tak hanya disajikan sebagai angka dan konflik, tapi juga sebagai cermin budaya: dari dunia hiburan, tren digital, hingga isu sosial yang menyentuh kehidupan nyata.

Hore168 tumbuh sebagai simbol kecil bahwa media bisa tetap menarik tanpa kehilangan integritas.


6. Viral yang Tak Selalu Bermakna

Di kota lain, seorang anak kecil berusia sepuluh tahun menjadi viral setelah videonya beredar — ia menari di atas perahu nelayan sambil tersenyum lebar. Jutaan orang menonton, ribuan memberi komentar.

Namun di balik layar ponsel, kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Anak itu masih tinggal di rumah sederhana, masih membantu ayahnya memperbaiki jaring ikan, masih bersekolah dengan sepatu robek.

Kita sering lupa bahwa di balik setiap video viral, ada manusia nyata.
Viral memberi ketenaran, tapi belum tentu memberi perubahan.

Begitulah dunia digital bekerja: cepat memberi sorotan, tapi pelit memberi solusi.


7. Ketika Rakyat Tak Lagi Percaya

Dari kampung hingga kota, dari warung hingga kantor, satu kalimat yang sering terdengar adalah: “Percuma ngomong, semua sama saja.”
Kalimat itu adalah bentuk paling halus dari keputusasaan sosial.

Bukan karena rakyat bodoh, tapi karena mereka terlalu sering dikecewakan.
Janji perubahan datang setiap lima tahun, tapi wajah keadilan tetap kabur.

Yang tersisa hanyalah dua hal: bertahan dan berharap.
Bertahan dengan segala cara, berharap meski tahu kemungkinan kecil.

Namun justru dalam keadaan itulah muncul kekuatan paling murni dari manusia Indonesia — keteguhan. Ketika sistem gagal, solidaritas menggantikannya. Warga membantu warga, tetangga membantu tetangga, dan di antara reruntuhan kekecewaan, masih tumbuh rasa saling percaya yang sederhana.


8. Harapan yang Tak Mati

Sore hari di Bekasi, ibu Sulastri menutup radionya. Ia belum tahu apakah bantuan yang dijanjikan benar-benar datang, tapi ia masih menyiapkan makan malam seperti biasa. Di meja kayu kecilnya, ada nasi hangat, tempe goreng, dan sambal terasi.

Di luar sana, langit mulai gelap. Di televisi, berita baru muncul: soal proyek energi, soal konflik politik, soal apapun yang akan viral malam ini.

Tapi di rumah kecil itu, tidak ada yang viral. Yang ada hanya keheningan, dan keyakinan bahwa esok pagi hidup harus terus berjalan.

Barangkali inilah bentuk nyata dari ketahanan bangsa: bukan di gedung megah, bukan di ruang rapat, tapi di dapur-dapur kecil seperti milik ibu Sulastri — tempat di mana harapan tidak butuh mikrofon untuk berbicara.


9. Menyimak Dunia dengan Mata yang Tenang

Di tengah arus berita yang tak pernah berhenti, mungkin kita semua perlu belajar dari orang-orang kecil yang jarang masuk berita. Mereka tidak ikut debat politik, tidak membaca laporan ekonomi, tapi mereka memahami hal yang lebih penting: bagaimana caranya bertahan hidup tanpa kehilangan hati.

Karena di dunia yang penuh kebisingan, ketenangan adalah bentuk kecerdasan yang paling langka.

Kita tidak bisa menghentikan berita, tapi kita bisa memilih bagaimana menanggapinya. Kita tidak bisa menghentikan dunia berubah, tapi kita bisa memilih cara untuk tetap manusiawi di dalamnya.

Dan selama masih ada ruang-ruang yang berani menyuarakan realitas dengan jujur — seperti yang dilakukan oleh Hore168, yang memadukan informasi, hiburan, dan keberanian untuk berpikir berbeda — maka kita masih punya alasan untuk percaya bahwa nalar belum mati di negeri ini.

Baca Juga: Berita terkini dan viral hari ini, gelombang suara dari dunia maya, di balik layar viralitas kisah manusia modern


Epilog: Di Balik Setiap Berita, Ada Manusia

Mungkin inilah pelajaran terbesar dari semua peristiwa yang datang silih berganti: bahwa di balik setiap berita, ada manusia. Di balik angka-angka, ada air mata. Di balik pidato, ada perut yang lapar. Di balik komentar media sosial, ada seseorang yang mencoba dimengerti.

Selama kita masih bisa mengingat hal itu, selama kita masih bisa menatap sesama tanpa prasangka, maka bangsa ini belum kehilangan arah.

Karena sejauh apapun kita tersesat dalam arus berita, selalu ada jalan pulang — jalan menuju kemanusiaan, kejujuran, dan harapan yang sederhana.


on Oktober 18, 2025 by Si Tangan Kilat |