Krisis Kepercayaan di Negeri yang Tak Pernah Sepi Berita

Setiap pagi, bangsa ini membuka mata di tengah kebisingan berita. Dari layar ponsel, televisi, hingga pengeras suara publik, informasi datang tanpa permisi. Kita hidup di era ketika kabar datang lebih cepat daripada logika bekerja. Namun ironisnya, di tengah ledakan informasi, yang justru hilang adalah satu hal paling berharga: kepercayaan.

Rakyat tidak lagi percaya pada janji pemerintah, pejabat tidak percaya pada kesabaran rakyat, dan media pun sering kali diragukan independensinya. Semua berbicara, tapi sedikit yang benar-benar didengar.


I. Negara yang Sibuk Menyampaikan, Bukan Mendengarkan

Dalam satu bulan terakhir saja, berita datang bertubi-tubi: gunung meletus di Flores, gempa di Papua, bantuan sosial yang kembali dijanjikan, proyek energi yang dipromosikan, dan skandal korupsi yang dibantah setengah hati.

Semua disampaikan dengan kecepatan yang luar biasa. Setiap menteri, pejabat, dan juru bicara berlomba untuk muncul di layar. Mereka bicara tentang “komitmen”, “transparansi”, “program strategis”, seolah kata-kata itu cukup untuk menyembuhkan luka sosial yang dalam.

Namun publik semakin kebal terhadap jargon. Kata “bantuan” kini diikuti dengan “tepat sasaran?”, kata “investasi” disambut dengan “untuk siapa?”, dan kata “kinerja” justru memancing gelak tawa sinis.

Di titik ini, komunikasi pemerintah telah kehilangan bobot moralnya.
Yang tersisa hanyalah formalitas — pidato yang lebih sering disusun untuk kamera, bukan untuk rakyat.


II. Banjir Informasi, Kekeringan Makna

Masalah terbesar bangsa ini bukan kekurangan berita, tapi kelebihan narasi.
Media nasional menayangkan semua peristiwa: dari politik hingga bencana, dari hiburan hingga kriminal. Namun di tengah limpahan itu, kita kehilangan arah tentang mana yang penting, mana yang sekadar sensasi.

Berita yang seharusnya berfungsi sebagai jendela kebenaran kini berubah menjadi cermin ego. Setiap media ingin menjadi yang tercepat, bukan yang paling akurat.

Akibatnya, publik kebingungan. Di antara ribuan headline, mereka tidak tahu mana fakta, mana propaganda, mana hiburan.

Fenomena ini memunculkan paradoks baru: semakin banyak berita, semakin sedikit yang dipercaya.
Dan ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap informasi, demokrasi kehilangan fondasinya.


III. Pencitraan Politik dan Publik yang Lelah

Politik hari ini bukan lagi arena gagasan, tapi teater besar bernama citra.
Pejabat berpose di lokasi bencana, membagikan bantuan di depan kamera, atau menulis unggahan di media sosial seolah menjadi “teman rakyat”.

Namun rakyat sudah terlalu sering menonton drama ini. Mereka tahu peran mana yang asli dan mana yang diskenariokan.

Krisis kepercayaan ini menular seperti penyakit. Ketika satu lembaga kehilangan moral, lembaga lain ikut terinfeksi. Rakyat mulai menyamaratakan semuanya — “semua pejabat sama saja”, “semua media punya kepentingan”, “semua berita bohong.”

Kalimat-kalimat semacam itu mungkin terdengar pahit, tapi ia adalah refleksi jujur dari rasa lelah sosial yang terpendam.

Masyarakat tidak butuh aktor yang pandai berbicara, mereka butuh pemimpin yang mau mendengar.


IV. Korupsi dan Luka Kolektif

Skandal besar di sektor energi baru-baru ini kembali menguak sisi gelap sistem pemerintahan. Triliunan rupiah lenyap tanpa jejak yang jelas, sementara rakyat masih menunggu subsidi listrik yang dijanjikan.

Setiap kali korupsi terungkap, negara seakan mengulang skrip lama: penyesalan, penyelidikan, konferensi pers, dan diam.
Hukuman datang lambat, rasa malu datang lebih lambat lagi.

Lama-lama, publik berhenti marah. Karena di negeri ini, kemarahan sosial terlalu sering diabaikan hingga menjadi kebiasaan.

Ketika korupsi tidak lagi mengejutkan, yang rusak bukan hanya anggaran, tapi juga moral publik.
Kita hidup dalam generasi yang tumbuh dengan keyakinan bahwa kejujuran hanyalah cerita anak-anak, bukan syarat kepemimpinan.


V. Media dan Transformasi Kepercayaan

Di tengah krisis ini, media berada di posisi paling rapuh sekaligus paling penting.
Publik menuntut media menjadi penengah, tapi juga menuduhnya bias.
Media dituntut netral, tapi juga dipaksa memihak “kebenaran”.

Untuk bertahan, sebagian media memilih bermain aman dengan berita sensasional atau hiburan cepat saji. Namun sebagian lain berupaya menemukan format baru — lebih independen, lebih manusiawi.

Di sinilah muncul ruang alternatif seperti Hore168, yang memadukan informasi ringan dengan refleksi sosial.
Bukan karena ingin menjadi lawan media besar, tetapi karena menyadari bahwa pembaca masa kini membutuhkan ruang bernapas di tengah hiruk pikuk.

Hore168 tidak berpretensi menyelamatkan dunia informasi, tapi setidaknya ia mengingatkan kita bahwa berita bisa disampaikan tanpa kehilangan sisi manusiawi. Di era kebisingan, ketenangan justru menjadi nilai yang langka.


VI. Dari Bencana ke Birokrasi: Pola yang Tak Berubah

Bencana demi bencana yang melanda negeri ini selalu menunjukkan satu pola: reaksi cepat di depan kamera, lambat di belakang layar.
Pemerintah menyiapkan posko, mengirim bantuan, lalu berpindah ke isu berikutnya.

Sementara di lapangan, korban dibiarkan menunggu di tenda, infrastruktur rusak tak kunjung diperbaiki, dan trauma psikologis tak pernah jadi prioritas.

Dalam setiap bencana, yang paling terlihat justru bukan kecepatan pemerintah, tapi kecepatan kamera.

Bagi rakyat, harapan kini lebih sering datang dari sesama — dari komunitas, relawan, dan solidaritas sosial yang tumbuh organik.
Karena di tengah runtuhnya institusi, manusia masih bisa saling menopang.


VII. Ketika Viral Menggantikan Moral

Era media sosial melahirkan budaya baru: semua harus viral agar dianggap nyata.
Bencana harus direkam, kemarahan harus diunggah, bahkan kebaikan pun harus difoto.

Kita tidak lagi berbuat baik karena nurani, tapi karena ingin dilihat.
Dan ini menciptakan bentuk baru dari krisis: kehilangan makna dalam tindakan.

Di dunia di mana setiap orang bisa menjadi “pemberi berita”, nilai kebenaran bergeser menjadi nilai perhatian.
Berita yang paling keras suaranya sering kali dianggap paling benar.

Namun bangsa tidak bisa dibangun dari teriakan.
Bangsa hanya bisa dibangun dari ketenangan berpikir, kejujuran bicara, dan keberanian memperbaiki diri tanpa kamera.


VIII. Jalan Pulang: Membangun Kembali Kepercayaan

Krisis kepercayaan ini tidak akan selesai dalam satu masa pemerintahan.
Ia harus disembuhkan dengan perubahan budaya: budaya jujur dalam politik, budaya kritis dalam media, dan budaya empati dalam masyarakat.

Pemerintah harus belajar kembali bahwa kepercayaan tidak bisa dibeli dengan iklan dan pidato.
Media harus berani menolak menjadi alat kepentingan.
Dan rakyat harus kembali belajar berpikir, bukan sekadar bereaksi.

Kepercayaan bukan soal siapa yang berbicara paling meyakinkan, tapi siapa yang paling konsisten antara kata dan tindakan.

Baca Juga: Wajah-wajah di balik viralitas cerita, viralitas manipulasi dan kekuatan opini, gelombang viral dan panggung baru


IX. Menutup dengan Harapan

Kita mungkin lelah dengan politik yang penuh sandiwara, ekonomi yang penuh janji, dan berita yang terlalu banyak berteriak.
Namun kelelahan bukan alasan untuk berhenti percaya bahwa kebenaran masih mungkin.

Selama masih ada ruang bagi suara independen, selama masih ada media yang menulis dengan niat baik — seperti Hore168 dan platform serupa yang menolak tunduk pada kebisingan — maka harapan belum sepenuhnya padam.

Mungkin kepercayaan publik hari ini sedang hancur, tapi dari reruntuhannya, kita bisa membangun ulang bangsa ini — bukan dengan propaganda, tapi dengan kejujuran kecil yang dilakukan setiap hari.


Penutup:
Indonesia tidak butuh lebih banyak berita, tapi lebih banyak kejujuran dalam menyampaikan berita.
Tidak butuh lebih banyak bicara, tapi lebih banyak mendengarkan.
Dan di atas segalanya, kita tidak butuh lebih banyak pencitraan, tapi lebih banyak kepedulian nyata.

Karena pada akhirnya, sebuah bangsa tidak dinilai dari seberapa sering ia tampil di layar, melainkan seberapa dalam ia menatap dirinya sendiri.


on Oktober 18, 2025 by Si Tangan Kilat |