“Kami Bertahan Karena Kami Saling Menjaga”: Wawancara dengan Ketua Komunitas Warga Tentang Perubahan Sosial di Daerahnya

Di sebuah kota kecil di Jawa, perubahan sosial dan ekonomi tidak selalu terlihat dari pembangunan besar. Kadang perubahan itu hadir melalui kebiasaan baru warga, cara mereka berkomunikasi, serta strategi mereka mempertahankan keseharian.
Untuk memahami bagaimana masyarakat beradaptasi, kami berbincang dengan Ahmad Riyanto, 42 tahun, Ketua Komunitas Warga “Sedar Lingkungan,” yang sejak delapan tahun terakhir aktif mengorganisasi kegiatan budaya, pengelolaan pasar, hingga koordinasi bantuan ketika harga kebutuhan pokok naik.

Wawancara ini dilakukan di balai warga pada sore hari setelah kegiatan diskusi rutin lingkungan berakhir.


Wartawan: Bagaimana kondisi masyarakat beberapa bulan terakhir, khususnya terkait kenaikan harga bahan pokok?

Ahmad:
Kondisinya berubah-ubah. Yang paling terasa itu harga beras dan cabai. Kampung kita ini banyak yang pendapatannya tidak tetap. Jadi kalau harga naik sedikit saja, efeknya langsung terasa di dapur keluarga.
Tapi saya melihat satu hal penting: warga tidak diam. Mereka menyesuaikan diri. Ada yang mengubah jadwal belanja, ada yang mulai menanam tanaman dapur di halaman rumah, ada yang berkebun cabai sendiri. Itu bentuk adaptasi sosial yang tidak selalu terlihat di laporan angka, tapi nyata di lapangan.


Wartawan: Apakah ada perubahan dalam cara warga berbelanja atau mengatur kebutuhan rumah tangga?

Ahmad:
Ada. Sekarang orang tidak lagi belanja bulanan dalam jumlah besar. Mereka belanja sedikit-sedikit, menyesuaikan kebutuhan harian.
Selain itu, komunikasi antar warga lebih aktif. Di grup lingkungan, orang berbagi informasi harga, siapa yang dapat murah di pasar mana, sampai metode menyimpan bahan makanan agar lebih awet.
Komunikasi menjadi alat bertahan.


Wartawan: Bagaimana kondisi pasar tradisional di daerah ini? Apakah banyak perubahan?

Ahmad:
Pasar tetap hidup. Tapi perilakunya berubah. Pedagang sekarang lebih berhati-hati mengambil stok.
Yang menarik adalah penggunaan ponsel. Banyak pedagang kita sekarang menerima pesanan lewat pesan singkat. Ada yang bahkan membuat daftar harga harian dan mengirimnya ke pelanggan tetap.
Ini menunjukkan bahwa pasar tradisional tidak akan hilang. Ia hanya berevolusi.


Wartawan: Bagaimana peran ruang publik dalam menjaga kebersamaan warga?

Ahmad:
Taman kota sekarang menjadi pusat kegiatan baru. Dulu taman itu hanya tempat lewat. Sekarang jadi tempat berkumpul komunitas ibu-ibu senam, anak muda belajar musik, sampai diskusi budaya.
Kalau ruang publik hidup, kota akan ikut hidup. Karena orang butuh tempat untuk bertemu, bercakap, dan merasa tidak sendirian menghadapi perubahan.


Wartawan: Kita juga melihat ruang digital semakin mempengaruhi interaksi warga. Sejauh mana dampaknya di lingkungan ini?

Ahmad:
Dampaknya besar. Warga sekarang punya dua tempat tinggal: ruang fisik dan ruang digital.
Obrolan sehari-hari kita pindah ke grup pesan. Diskusi budaya pindah ke forum kecil.
Kadang ada juga percakapan santai tentang hiburan digital. Misalnya, ada warga yang cerita soal kebiasaan temannya menggunakan situs hiburan seperti hore168 untuk mengisi waktu luang. Itu bukan hal besar atau penting bagi komunitas kami, hanya bagian dari percakapan harian saja.
Yang penting adalah literasi digital. Warga harus bisa membedakan informasi yang bisa dipercaya, mana yang sekadar hiburan, mana yang berpotensi menyesatkan.
Ruang digital adalah alat. Yang menentukan baik-buruknya adalah bagaimana ia digunakan.


Wartawan: Bagaimana kondisi petani dan desa di pinggir kota saat cuaca tidak stabil seperti sekarang?

Ahmad:
Petani kita sedang belajar beradaptasi. Musim sudah tidak bisa ditebak seperti dulu. Mereka mencatat curah hujan, mencoba varian bibit yang lebih tahan cuaca, dan menanam dua komoditas sekaligus untuk mengurangi risiko.
Saya sering bilang, petani adalah ilmuwan yang tidak menyebut dirinya ilmuwan. Mereka belajar dari alam, mencoba, gagal, lalu mencoba lagi.
Kekuatan mereka ada pada kesabaran.


Wartawan: Dalam segala perubahan ini, apa yang paling menjaga masyarakat tetap kuat?

Ahmad:
Kebersamaan.
Kalau satu keluarga kesulitan, keluarga lain turun tangan. Kalau ada warga sakit, kita gotong royong. Kalau harga naik, kita cari solusi bersama.
Kita tidak menunggu bantuan dari atas. Kita bergerak dari bawah.
Kalau kita saling menjaga, kita bisa bertahan dalam situasi apapun.


Wartawan: Jika Anda bisa memberi pesan bagi pembaca di kota-kota lain, apa itu?

Ahmad:
Jangan pernah meremehkan kekuatan komunitas.
Perubahan besar itu tidak datang dari kebijakan besar saja. Ia datang dari keputusan kecil yang dilakukan banyak orang secara bersama-sama.
Menanam cabai di halaman, berbagi harga pasar, mengajak tetangga duduk di taman, membangun ruang komunikasi yang sehat, itu semua terlihat kecil.
Tapi dari hal-hal kecil itulah kehidupan berlangsung dan masyarakat bertahan.


Penutup

Perubahan sosial bukan hanya soal statistik, pembangunan fisik, atau angka ekonomi.
Ia hidup di pasar yang tetap buka meski harga naik, di taman yang menjadi tempat pertemuan baru, di percakapan digital yang menyebarkan kabar harian, dan di kesabaran petani membaca langit.

Dari wawancara ini, tampak bahwa ketahanan masyarakat Indonesia bukan lahir dari kebetulan, tetapi dari kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri, bekerja bersama, dan menjaga hubungan antarmanusia.

Baca Juga: gelombang perubahan indonesia di, aksi diplomasi tekanan domestik, fenomena minigp bogor ajang balap anak

Kehidupan terus bergerak. Dan masyarakat, dengan caranya sendiri, selalu menemukan jalan.


on November 09, 2025 by Si Tangan Kilat |