Di Antara Riuh Pasar, Suara Mesin Kota, dan Sunyi Sawah: Catatan Lapangan tentang Hidup yang Terus Berjalan

Pagi belum benar-benar terang ketika saya tiba di sebuah pasar tradisional di pinggiran kota. Jalan menuju pasar masih basah oleh embun yang belum mengering, dan aroma sayur segar bercampur dengan bau tanah yang lembap. Suara pedagang yang saling menyapa terdengar seperti lagu pembuka dari sebuah hari panjang yang baru saja dimulai.

Pasar ini bukan pusat ekonomi besar. Ia hanya salah satu dari ratusan pasar di kota-kota kecil Indonesia. Namun, pasar seperti inilah yang menjadi nadi kehidupan: tempat informasi bertukar, kabar menyebar, dan cerita-cerita kecil masyarakat terekam dalam percakapan pendek yang jarang diingat, namun tak pernah benar-benar hilang.

Saya berjalan di antara lapak-lapak pedagang sayuran, ikan, dan ayam potong. Mata saya menangkap wajah-wajah yang tampak terbiasa menghadapi perubahan: harga naik, cuaca berubah, distribusi barang tidak menentu, tetapi pasar tetap buka, hari demi hari.


Pasar dan Para Penjaga Ritme Kota

Sulastri, pedagang sayur yang saya temui, duduk di belakang timbangan besi yang catnya mulai terkelupas. Tangan kirinya merapikan cabai rawit dalam keranjang, sementara tangan kanannya sesekali menepuk plastik pembungkus agar tak menggembung.

“Harga cabai naik lagi?” tanya saya.

“Naik. Tapi besok bisa turun. Atau malah naik lebih tinggi. Kita tidak bisa menebak,” jawabnya sambil tertawa kecil. Tawa itu bukan tanda lucu. Itu tawa orang yang sudah terbiasa menyesuaikan diri.

Sulastri mengaku tidak mengambil stok banyak lagi. Ia membeli sedikit tetapi sering. Dengan cara itu, ia menghindari risiko kerugian jika harga tiba-tiba turun. Bagi pedagang seperti dirinya, perubahan bukan sesuatu yang heboh, melainkan rutinitas yang harus diikuti.

“Yang penting tetap buka. Orang pasti tetap butuh makan,” katanya.

Saya menanyakan apakah pembeli berkurang.

“Bukan berkurang. Mereka hanya lebih hati-hati. Banyak yang beli separuh dari biasanya. Kadang, mereka datang dua kali sehari tapi beli sedikit-sedikit.” Ia mengangkat pundak. “Semua orang sedang menyesuaikan diri.”


Di Ruang Kota yang Padat dan Terlalu Hidup

Siang hari, saya meninggalkan pasar dan menuju pusat kota. Jalanan dipenuhi kendaraan. Lampu lalu lintas tidak mampu mengatur ritme yang berubah-ubah. Sesekali klakson terdengar, seperti nada tergesa dari seseorang yang mungkin terlambat bekerja.

Di sebuah halte dekat pusat pemerintahan, beberapa orang menunggu bus kota yang rutenya baru diperbaiki tahun lalu. Pemerintah mencoba menata ulang sistem transportasi. Ada upaya untuk membuat kota lebih manusiawi, tetapi kebiasaan mengemudi kendaraan pribadi masih terlalu kuat.

Seorang pria muda dengan helm menggantung di tangannya berbicara kepada saya sambil menunggu bus.

“Kita butuh waktu. Orang-orang sudah terlalu terbiasa naik motor. Tapi kalau busnya nyaman dan tepat waktu, lama-lama orang akan berubah.” Ia tidak menyebutkan namanya. Mungkin ia terburu-buru. Mungkin ia hanya ingin berbicara sebentar.

Di belakang halte, saya melihat trotoar baru yang rapi. Bebatuan putih tersusun seperti pola anyaman berulang. Namun di bagian lain trotoar, sebuah gerobak mie ayam sudah menempati sebagian ruang.

Ruang publik, seperti kehidupan, selalu berada dalam negosiasi antara kebijakan dan kenyataan.


Sore Hari di Taman Kota, Tempat Semua Cerita Bertemu

Sore harinya saya berpindah ke sebuah taman kota. Taman ini semula jarang dikunjungi, tetapi beberapa tahun terakhir, ia berubah menjadi ruang aktivitas harian. Anak-anak berlari, para orang tua duduk di bangku panjang sambil berbincang, dan sekelompok pemuda berkumpul sambil membuka laptop dan buku sketsa.

Saya mendekati kelompok pemuda itu.

Mereka sedang merencanakan festival seni kecil. Tidak besar, tidak akan muncul di televisi, tetapi penting bagi ruang ini.

“Kalau kita tidak menghidupkan kota sendiri, siapa lagi?” kata salah satu dari mereka.

Mereka bercerita bahwa diskusi organisasi dan pertukaran informasi dilakukan sebagian besar melalui ruang digital. Di forum obrolan dan grup komunitas, mereka bertukar kabar tentang seni, kegiatan sosial, musik, berita, sampai topik ringan mengenai hiburan digital.

“Santai saja. Kadang orang ngobrolin situs hiburan online, kadang soal konser, kadang soal film. Nama seperti hore168 pun pernah muncul waktu ada yang cerita soal kebiasaan teman nongkrongnya mencari hiburan. Itu hanya pembicaraan biasa. Tidak ada yang menganggap itu sesuatu yang penting. Tapi itu menunjukkan bahwa dunia offline dan online sekarang sudah bercampur.”

Saya hanya mencatat.

Tidak ada yang benar-benar berdiri sendiri lagi. Kota, layar, dan percakapan telah menyatu.


Di Pinggiran Kota, Kehidupan Mencari Bentuknya Sendiri

Beberapa kilometer dari pusat kota, lanskap berubah. Gedung berganti menjadi sawah. Jalanan menjadi lebih tenang. Angin yang berhembus membawa aroma tanah, bukan asap knalpot.

Saya bertemu seorang petani bernama Suyatno, yang sedang memperbaiki pagar di pinggir sawah.

“Musim tidak sama lagi,” katanya tanpa saya tanya. “Kami harus memperhatikan langit dengan sabar. Kalau hujan datang terlalu cepat, kami tunda tanam. Kalau hujan terlalu sedikit, kami cari sumber air tambahan.”

Ia menunjukkan grafik sederhana yang ia buat sendiri: catatan curah hujan harian di kertas bekas buku sekolah anaknya.

“Orang kota punya data digital. Kami punya langit. Tapi kami juga belajar mencatat.”

Suyatno tersenyum kecil. Tidak ada keputusasaan di matanya. Hanya pemahaman bahwa hidup selalu bergerak dan manusia harus bergerak bersamanya.


Malam Menutup, Tapi Hidup Tidak Pernah Sepenuhnya Diam

Ketika malam turun, kota tidak langsung tidur. Di kios kecil, lampu neon masih menyala. Di rumah-rumah, televisi masih berbisik. Di layar-layar ponsel, informasi terus mengalir tanpa henti.

Hidup tidak pernah benar-benar berhenti. Ia hanya berganti wujud.

Dari pasar tradisional hingga taman kota, dari lalu lintas padat hingga sawah yang sunyi, dari percakapan offline hingga ruang digital, masyarakat terus belajar menyesuaikan diri.

Baca Juga: masyarakat pasca pandemi indonesia di, era baru indonesia di antara layar, suara dari jalanan ketika rakyat bicara

Tidak ada yang benar-benar sama dengan tahun lalu. Namun masyarakat tetap berdiri, tetap bergerak, tetap mencari cara.

Perubahan tidak selalu terlihat besar. Kadang ia hadir dalam bentuk keputusan kecil: membuka lapak lebih awal, menunda panen sehari, berjalan kaki ke taman, atau menyapa tetangga di grup pesan warga.

Dan di situlah ketahanan sebenarnya berada.

Karena hidup, betapapun sulit, selalu menemukan cara untuk kembali berjalan.


on November 09, 2025 by Si Tangan Kilat |