Di banyak kota di Indonesia, kehidupan tidak pernah berhenti. Ia hanya berganti bentuk. Pada pagi hari, ia berbentuk kepulan uap bubur panas di sudut gang, keramaian pasar yang berjalan pelan, dan sapaan-sapaan ringan yang terdengar seperti mantra penyambut hari. Pada siang hari, ia menjelma menjadi suara knalpot, langkah tergesa, dan mata yang mencari ruang teduh. Sementara pada malam hari, ia beristirahat hanya sebentar, seperti seseorang yang tidur dengan satu mata terbuka, karena besok selalu menuntut sesuatu yang baru.
Kota adalah organisme hidup. Ia tumbuh, menua, mengingat, dan kadang juga lupa. Namun yang membuat kota tetap bernapas adalah manusia di dalamnya.
I. Pasar Sebagai Denyut Nadi yang Mengatur Irama
Ada sebuah pasar tua di kota ini, yang namanya tidak pernah benar-benar dicatat dalam sejarah resmi, tapi diingat oleh setiap orang yang pernah tinggal di sini. Pasar itu tidak besar. Gang-gangnya sempit, dan atap sengnya telah berkarat. Namun jika diperhatikan dari jarak dekat, pasar itu seperti pusat saraf kota: segala kabar, harapan, kesulitan, dan strategi bertahan hidup berputar di sana.
Para pedagang tidak pernah benar-benar punya waktu untuk merayakan perubahan. Mereka hanya memindahkan tubuh mereka dari satu hari ke hari berikutnya. Harga naik? Mereka menyesuaikan. Pembeli menawar terlalu rendah? Mereka tersenyum dan mengulang perhitungan. Hujan turun terlalu deras? Mereka menutup lapak sebentar, lalu membukanya kembali.
Tidak ada yang dramatis. Namun di situlah ketahanan itu berada.
Seorang pedagang cabai pernah berkata kepada saya:
“Kami tidak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi kami tetap datang. Karena datang adalah satu-satunya cara untuk membuat hari berikutnya mungkin terjadi.”
Dia tidak sedang mendefinisikan filosofi hidup. Tapi kalimat itu, yang keluar begitu saja, terasa seperti pengetahuan yang tidak diajarkan sekolah mana pun.
II. Kota dan Lalu Lintas yang Mengatur Psikologi Warganya
Kota ini memiliki jam-jam tertentu ketika ia menjadi terlalu hidup. Pada pukul delapan pagi, suara kendaraan seperti gelombang yang datang bertubi-tubi. Mesin-mesin menggeram, klakson menjadi bahasa, dan setiap orang tampak seperti sedang mengejar sesuatu yang tidak boleh terlambat.
Namun di balik riuh itu, ada ritme harian yang jarang diperhatikan. Ada pengemudi ojek yang mengenal pelanggan tetapnya bukan hanya dari nama, tapi dari cara langkahnya menuju kendaraan. Ada penjual roti keliling yang tahu jam ketika anak-anak sekolah keluar. Ada petugas kebersihan yang menyapu jalan dengan gerakan yang sangat teratur, seolah menyapu bukan pekerjaan, melainkan doa.
Kota tidak hanya bergerak karena kendaraan dan mesin. Ia bergerak karena kebiasaan. Dan kebiasaan adalah catatan terhalus tentang siapa kita.
III. Ruang Publik, Ruang Bernafas
Sore hari, taman kota menjadi tempat yang mempertemukan hal-hal yang tidak terhubung: anak-anak, pelari, pasangan muda, komunitas senam ibu-ibu, dan sesekali, sekelompok remaja yang membawa gitar.
Di sinilah kota bernafas. Di tengah pepohonan yang batangnya tidak terlalu tinggi, tetapi cukup untuk menepis sedikit panas siang, orang-orang duduk, berdiri, berjalan, menunggu, berbicara.
Saya melihat seorang pria tua duduk sendirian di bangku taman. Tangannya menyentuh permukaan kayu yang mulai memudar. Ia tidak membawa buku, ponsel, atau apa pun. Ia hanya duduk. Itu saja.
Saya bertanya kepada diri sendiri: apakah diam juga bagian dari kehidupan kota?
Jawabannya: iya. Karena diam adalah ruang yang memberi kita kesempatan mengingat bahwa kita masih manusia.
Di tempat lain, sekelompok anak muda berbicara tentang rencana acara komunitas, membahas seni mural dan panggung terbuka. Percakapan mereka tidak lepas dari dunia digital: grup pesan, forum komunitas, hingga cerita ringan mengenai kebiasaan rekan mereka berselancar di situs hiburan seperti hore168. Cerita seperti itu muncul sekilas, sebagai bagian dari obrolan, bukan pusat perhatian. Dunia nyata dan dunia digital berlapis satu sama lain seperti cat tembok yang tak pernah benar-benar kering.
Kota hari ini tidak lagi hanya terjadi di jalanan. Ia juga terjadi di layar.
IV. Di Pinggiran Kota: Waktu Bergerak Lebih Pelan
Beberapa kilometer dari pusat kota, sawah masih terbentang. Air memantulkan langit. Udara terasa lebih ringan. Waktu bergerak dengan langkah yang berbeda.
Para petani di sana bekerja tidak berdasarkan jadwal kantor atau kalender bulanan, tetapi berdasarkan arah angin, kelembapan tanah, dan pengetahuan yang diwariskan tanpa kata-kata.
Mereka tahu kapan harus menunda, kapan harus memulai, kapan harus menunggu.
Suyatno, seorang petani yang saya temui, berkata dengan suara datar tetapi tegas:
“Tanah itu bicara. Yang tidak mendengar, itu kita.”
Ia mengatakan ini tanpa metafora. Dalam hidupnya, itu adalah kenyataan.
V. Malam, Ketika Kota Merenung
Ketika malam datang, lampu jalan menyala satu per satu. Kota tidak gelap. Ia seperti membuka halaman baru dalam buku yang sama.
Warung kopi pinggir jalan menjadi ruang diskusi. Televisi di ruang tamu menjadi jendela informasi. Ponsel menjadi perpanjangan tangan pemikiran.
Ada orang yang membaca berita, ada yang melihat video pendek, ada yang menulis pesan, ada yang hanya menatap cahaya layar tanpa tujuan. Tetapi semua itu adalah bagian dari cara manusia hari ini memaknai keberadaan.
Di malam hari, kota menjadi jujur. Tidak ada lagi alasan untuk bersembunyi di balik aktivitas. Yang tersisa hanyalah refleksi: Siapakah kita hari ini? Apa yang telah berubah? Apa yang tetap kita pegang?
Mungkin yang kita pegang adalah satu hal paling sederhana: harapan bahwa besok masih bisa kita bentuk, sedikit saja, dengan tangan kita sendiri.
Penutup: Kota yang Berjalan Bersama Warganya
Kota tidak pernah menjadi entitas yang berdiri sendiri. Ia tumbuh dari kebiasaan para pedagang pasar, langkah para pekerja, tawa anak-anak di taman, kesabaran petani, dan percakapan kecil yang terjadi setiap hari.
Baca Juga: analisis dampak investasi asing, fenomena tuntutan rakyat yang viral dan, politik dalam bayang bayang viral
Kita adalah kota. Kota adalah kita.
Dan selama manusia masih belajar bertahan, beradaptasi, bekerja, mencintai, menunggu, dan mengingat, kota akan terus hidup.
Tidak sempurna. Tidak selalu nyaman. Tapi hidup.
Dan itu sudah cukup untuk hari ini.
Dan untuk esok, kita mulai lagi.