Suara yang Tak Pernah Didengar

Saya bangun pagi dengan suara azan dari surau kecil di ujung gang. Udara masih lembap, tapi suara motor ojek online sudah berderu di luar. Di televisi, berita pagi memutar ulang gambar yang sama: bencana, protes, korupsi, selebritas viral. Semua terasa seperti deja vu — cerita lama yang diganti tanggalnya.

Saya menatap cangkir kopi yang mulai dingin dan berpikir:
kapan terakhir kali berita benar-benar membuat kita berhenti sejenak dan merenung?


1. Negara yang Selalu Sibuk Menjelaskan

Setiap minggu, pemerintah punya cerita baru. Kadang soal bantuan tunai, kadang soal proyek energi, kadang soal kebijakan digital. Di layar kaca, para pejabat bicara dengan nada yakin, seolah semua masalah sudah diatur dengan rapi di balik meja.

Tapi di warung dekat rumah saya, para ibu masih sibuk mengatur uang belanja harian. Harga cabai dan beras naik lebih cepat dari janji yang mereka dengar.

Di satu sisi, kita melihat angka pertumbuhan ekonomi yang stabil, stimulus triliunan rupiah, dan optimisme pejabat tentang masa depan. Di sisi lain, kita melihat warga yang masih menunggu air bersih mengalir di rumah mereka.

Mungkin beginilah rasanya hidup di negara yang sibuk menjelaskan dirinya sendiri. Selalu banyak bicara tentang kemajuan, tapi jarang mendengarkan suara yang datang dari bawah.


2. Tentang Gempa, Abu, dan Doa yang Tak Tercatat

Beberapa waktu lalu, gempa mengguncang Papua. Tak lama setelah itu, Gunung Lewotobi di Flores memuntahkan abu panas ke langit. Media menyiarkan semua itu — gambar rumah retak, anak kecil menangis, dan pejabat datang meninjau lokasi sambil memakai rompi.

Namun yang tidak disiarkan adalah detik-detik setelah kamera berhenti merekam: ketika warga harus kembali ke tenda darurat, ketika anak-anak bersekolah di bawah pohon, ketika bantuan datang tidak merata.

Di negeri ini, bencana adalah peristiwa yang selalu diulang.
Yang berubah hanya jumlah korban dan tanggal kejadian.

Kita selalu berkata “Indonesia kuat”, tapi mungkin sebenarnya yang kuat adalah rakyatnya — karena mereka tetap bertahan meski negara sering datang terlambat.


3. Antara Gedung yang Runtuh dan Moral yang Rapuh

Tragedi runtuhnya bangunan pesantren di Sidoarjo seharusnya jadi tamparan keras bagi siapa pun yang masih percaya pada kata “izin resmi”. Puluhan santri meninggal dunia, ratusan luka-luka, dan negara kembali menggelar konferensi pers tentang “evaluasi bangunan.”

Saya membaca berita itu sambil berpikir: betapa murahnya harga nyawa di negeri ini ketika pengawasan hanya jadi formalitas. Bangunan boleh tinggi, tapi tanggung jawabnya dangkal.

Setiap kali ada musibah, kita mendengar kalimat yang sama — “akan dilakukan penyelidikan mendalam.” Tapi sebelum penyelidikan selesai, masyarakat sudah lupa. Ada berita baru, isu baru, dan perhatian baru.

Barangkali inilah penyakit terbesar bangsa ini: kita cepat iba, tapi lebih cepat lupa.


4. Tentang Uang, Skandal, dan Kepercayaan yang Hilang

Beberapa bulan terakhir, berita tentang korupsi besar di sektor energi menyeruak. Uang negara yang seharusnya untuk rakyat, malah berputar di saku orang-orang yang sudah terlalu kenyang.

Yang membuat hati perih bukan hanya jumlah uangnya, tapi cara kita bereaksi. Kita tak lagi marah. Kita hanya menghela napas panjang, lalu menggulir layar ponsel.

Rasa kecewa itu sudah terlalu sering datang hingga menjadi kebiasaan. Seolah korupsi adalah warna alami dari politik kita. Seolah kejujuran hanyalah ilusi yang tidak punya tempat di ruang publik.

Namun tanpa kepercayaan, negara hanyalah panggung kosong.
Pemerintah bisa berpidato sepanjang hari, tapi tanpa kepercayaan rakyat, setiap kata hanya akan bergema dalam ruang hampa.


5. Dunia Digital: Kebebasan yang Disetrum Aturan

Saya tumbuh di zaman ketika internet dianggap tempat paling bebas di dunia. Orang bisa berbicara apa saja, berbagi gagasan, berdebat, bahkan jatuh cinta lewat layar. Tapi kini, kebebasan itu terasa makin sempit.

Pemerintah menekan platform besar agar lebih ketat mengawasi konten. Alasannya: demi melindungi masyarakat dari judi online, hoaks, dan disinformasi. Tapi di balik alasan yang tampak mulia itu, terselip kekhawatiran: seberapa jauh negara boleh mengatur pikiran warga?

Ruang digital kini seperti taman berpagar tinggi. Kita masih bisa bermain di dalamnya, tapi selalu ada mata yang mengawasi dari balik pagar.

Di saat seperti ini, muncul media alternatif seperti Hore168, yang mencoba mengembalikan makna kebebasan itu. Sebuah ruang di mana informasi dan hiburan bisa berjalan beriringan tanpa menjadi alat politik atau propaganda. Di tengah arus informasi yang penuh kepalsuan, platform seperti Hore168 terasa seperti napas segar.


6. Anak Kecil, Sepeda Mini, dan Harapan yang Belum Mati

Saya masih ingat video anak kecil yang balapan MiniGP di Bogor. Tubuhnya mungil, tapi gerakannya lincah dan berani. Orang menonton, tersenyum, lalu menekan tombol “bagikan.” Video itu viral dalam semalam.

Di antara ratusan berita suram, adegan sederhana itu seperti cahaya kecil di ujung gang gelap. Ia mengingatkan kita bahwa harapan tak selalu datang dari pejabat, tapi dari anak kecil yang berani bermimpi besar di jalan kecil.

Kadang, bangsa ini tak butuh pidato panjang tentang masa depan. Cukup satu contoh keberanian — satu tindakan kecil yang menyalakan keyakinan bahwa masih ada sesuatu yang bisa diperjuangkan.


7. Tentang Kebahagiaan yang Sederhana

Kehidupan terus berjalan, meski berita datang dan pergi. Para ibu masih memasak, anak-anak masih bermain, dan para pekerja masih berjuang melawan macet. Dunia tidak berhenti hanya karena headline berubah.

Mungkin kita memang tidak bisa menghentikan arus berita, tapi kita bisa memilih cara kita menghadapinya. Kita bisa menolak menjadi penonton yang hanya terpaku pada drama layar kaca. Kita bisa mulai peduli pada hal-hal kecil: menjaga lingkungan, saling membantu, dan berkata jujur pada diri sendiri.

Kebahagiaan di negeri ini kadang tidak datang dari kebijakan besar. Ia datang dari hal-hal kecil: dari tawa anak-anak di gang sempit, dari hujan sore yang membawa kesejukan, dari kebaikan yang dilakukan tanpa kamera.


8. Menatap Hari Esok dengan Pelan

Saya menulis ini bukan sebagai ahli ekonomi, bukan politisi, bukan jurnalis. Saya hanya warga biasa yang setiap hari membaca berita, menatap dunia, dan mencoba memahami maknanya.

Saya tahu negara ini tidak sempurna. Saya tahu banyak yang perlu diperbaiki. Tapi saya juga percaya: harapan tidak boleh mati hanya karena kita lelah.

Mungkin, seperti gunung yang terus meletus dan tanah yang terus berguncang, negeri ini memang ditakdirkan untuk selalu bergerak — jatuh, bangkit, jatuh lagi, lalu belajar.

Selama masih ada orang yang mau jujur, mau bekerja, mau mendengarkan, maka Indonesia belum kalah.

Kita hanya perlu sedikit waktu untuk berhenti, menatap sekeliling, dan bertanya: “Apa yang bisa saya perbaiki hari ini?”

Baca Juga: Fenomena berita viral dan lucu, gelagat viral dan kocak terbaru, berita terkini dan viral cerita di balik dunia maya


Penutup

Berita akan terus berganti. Hari ini kita membaca tentang bencana, besok tentang politik, lusa tentang hal viral yang entah penting atau tidak. Tapi satu hal pasti: di antara kabar baik dan buruk itu, kita masih punya pilihan untuk peduli.

Dan selama masih ada ruang seperti Hore168 — tempat cerita rakyat kecil, kisah inspiratif, dan sudut pandang segar bisa hidup berdampingan — mungkin kita masih punya alasan untuk percaya bahwa bangsa ini belum sepenuhnya kehilangan arah.

Karena di balik semua kegaduhan berita, selalu ada orang biasa yang tetap menyalakan harapan dengan cara sederhana: bekerja, tersenyum, dan mencintai tanah airnya dalam diam.


on Oktober 18, 2025 by Si Tangan Kilat |