Suara sirene ambulans terdengar memecah pagi di Sidoarjo, akhir September lalu. Asap putih, debu semen, dan suara tangis anak-anak santri berpadu jadi satu. Bangunan pesantren Al-Khoziny yang biasanya dipenuhi doa, kini tinggal puing dan kenangan. Puluhan nyawa muda melayang. Sebagian orang menyebutnya takdir, sebagian lain menyebutnya kelalaian.
Di media sosial, berita itu bertahan viral selama dua hari. Setelah itu tenggelam, digantikan oleh berita baru: paket bantuan pemerintah, letusan gunung di Flores, dan perdebatan politik di parlemen. Begitulah wajah negeri ini — bergerak cepat dari satu tragedi ke tragedi lain, seakan tak punya waktu untuk berduka, apalagi belajar.
Bab I: Indonesia, Negeri Tanpa Waktu untuk Berhenti
Setiap pagi, warga negeri ini menatap layar ponsel sebelum menatap wajah keluarga mereka. Timeline penuh dengan tagar baru: #GempaPapua, #KorupsiEnergi, #TragediPesantren, #Stimulus30Triliun. Di dunia digital, semua berita berumur pendek.
Kita tak lagi hidup di zaman “mengingat”, tapi di zaman “menggulung”. Begitu satu topik muncul, topik lain sudah siap menggantikannya. Dalam hiruk pikuk itu, rasa empati perlahan menjadi kemewahan.
Di kota-kota besar, orang bicara soal pertumbuhan ekonomi, startup, dan investasi asing. Di desa-desa, orang bicara soal harga beras yang naik dan jalan yang belum diaspal. Di tengah jurang perbedaan itu, negara berjalan seperti dua dunia yang berdampingan tapi tak saling bersentuhan.
Bab II: Antara Data dan Derita
Pemerintah baru saja mengumumkan stimulus ekonomi raksasa. Puluhan triliun rupiah digelontorkan untuk membantu rakyat kecil dan menstabilkan daya beli. Program magang besar-besaran juga diluncurkan, katanya demi “menyiapkan generasi emas Indonesia.”
Namun di lapangan, para pekerja informal masih mengeluh. Pedagang kaki lima di pinggiran terminal tetap berjualan tanpa kepastian, sementara mahasiswa magang masih banyak yang tak dibayar.
Ekonomi Indonesia memang tumbuh di atas kertas, tapi apakah rakyat tumbuh bersamanya? Data memang penting, tapi data tak bisa menggantikan kenyataan bahwa masih banyak yang hidup dari harapan kosong.
Di negeri yang terlalu pandai menghitung, sering kali yang tak terhitung justru paling manusiawi: rasa lelah, kecewa, dan ketidakpercayaan terhadap sistem yang katanya “untuk rakyat”.
Bab III: Di Balik Gemuruh Gunung dan Gedung
Gunung Lewotobi di Flores kembali memuntahkan abu panas. Langit mendung, jalan desa tertutup, warga panik berlarian. Dari udara, letusan itu tampak indah dan fotogenik — sampai kita ingat bahwa keindahan itu memaksa ratusan orang kehilangan rumah.
Alam, seperti biasa, selalu jujur. Ia menunjukkan gejolak tanpa basa-basi. Yang tak jujur justru manusia — yang berkali-kali mengabaikan tanda-tanda bahaya, mengubah lahan lindung jadi vila, dan menyebutnya “pembangunan.”
Sementara di Jakarta, gedung-gedung baru terus berdiri. Simbol kemajuan, katanya. Tapi siapa yang memastikan bahwa bangunan itu benar-benar aman? Tragedi runtuhnya pesantren di Sidoarjo bukan sekadar kecelakaan. Itu refleksi dari kebiasaan lama: membangun lebih cepat daripada berpikir.
Bab IV: Korupsi, Sebuah Cerita yang Tak Pernah Tamat
Setiap kali skandal baru muncul, rakyat bertanya, “Lagi-lagi?” — bukan karena kaget, tapi karena lelah.
Kasus besar di sektor energi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah adalah contoh nyata bagaimana korupsi telah berubah dari kejahatan menjadi kebiasaan. Di negeri ini, yang berubah hanya nama dan tanggal; pola permainannya tetap sama.
Kita punya lembaga anti korupsi, tapi korupsi masih tumbuh subur. Kita punya hukum, tapi hukum sering tunduk pada siapa yang duduk di kursi kekuasaan.
Yang lebih menyakitkan: sebagian rakyat mulai terbiasa. Mereka tak lagi marah, hanya menggeleng. Karena bagaimana mungkin marah terus kalau yang berubah hanya wajah pelakunya, bukan sistemnya?
Bab V: Dunia Digital — Antara Kebebasan dan Kekuasaan
Internet pernah dijanjikan sebagai ruang kebebasan. Tapi kini, ruang itu mulai dipagari. Pemerintah menekan platform besar agar lebih ketat mengawasi konten, terutama yang berbau judi online, hoaks, dan politik sensitif.
Langkah itu, di satu sisi, memang perlu. Dunia digital memang sering jadi sarang racun informasi. Tapi di sisi lain, kontrol yang berlebihan juga berbahaya. Di tangan yang salah, pengawasan bisa berubah menjadi pembungkaman.
Ruang digital adalah cermin zaman. Di sana, rakyat bisa bersuara, tapi juga bisa dibungkam dengan satu klik.
Dalam situasi seperti ini, media alternatif dan portal independen seperti Hore168 justru memegang peran penting. Di tengah arus berita cepat dan bias politik, ruang seperti ini memberi warna lain — ringan tapi sadar, menghibur tapi tetap cerdas, bebas tapi bertanggung jawab. Hore168 menjadi contoh bahwa kebebasan bisa tetap produktif tanpa kehilangan arah.
Bab VI: Ironi Modernitas
Di satu sisi, Indonesia ingin menjadi bangsa digital, dengan kota pintar dan teknologi canggih. Tapi di sisi lain, masih ada sekolah yang roboh, jembatan gantung yang tak aman, dan desa tanpa listrik.
Kita sedang berlari menuju masa depan dengan sepatu yang bolong.
Kemajuan bukan soal seberapa banyak startup berdiri, tapi seberapa banyak warga yang bisa hidup layak tanpa takut kehilangan nyawa hanya karena sistem yang lalai.
Kita sering membanggakan pertumbuhan ekonomi lima persen, tapi lupa bahwa pertumbuhan itu tak berarti jika 95 persen lainnya masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Bab VII: Viral, Tapi Tidak Selalu Bernilai
Hari ini, menjadi viral lebih penting daripada menjadi benar. Satu video lucu bisa menghapus ratusan laporan serius. Satu konten hiburan bisa menenggelamkan isu yang mestinya jadi perhatian nasional.
Viral bukan lagi cermin popularitas, tapi ukuran eksistensi. Semua orang berlomba menjadi “trending”, bahkan jika harus mengorbankan akal sehat.
Namun fenomena ini juga punya sisi terang. Banyak kisah lokal dan budaya daerah kini dikenal luas berkat media sosial. Bocah penari dari Sumatera, festival rakyat, dan gerakan sosial kini bisa mendapat panggung tanpa harus menunggu kamera televisi nasional.
Masyarakat kini belajar: perhatian bisa jadi kekuatan, asal diarahkan pada hal yang benar.
Bab VIII: Menatap Esok di Tengah Kelelahan
Setelah semua berita berlalu — setelah sirene berhenti, berita berganti, dan trending topic menghilang — yang tersisa hanyalah pertanyaan sederhana: ke mana arah kita berjalan?
Apakah kita akan terus menjadi bangsa yang cepat lupa dan gemar memaafkan kesalahan sistemik, atau bangsa yang belajar dan menuntut perubahan nyata?
Kita tidak kekurangan berita. Kita kekurangan ingatan.
Kita tidak kekurangan program. Kita kekurangan kejujuran.
Kita tidak kekurangan slogan. Kita kekurangan tindakan.
Dan di tengah semua itu, harapan masih ada. Ia muncul dalam bentuk kecil: dari anak muda yang berani bersuara, dari komunitas yang menolak menyerah, dari jurnalis yang menulis kebenaran tanpa takut kehilangan pekerjaan.
Mungkin masa depan Indonesia tidak akan datang dengan fanfare besar. Ia akan lahir pelan-pelan — dari kesadaran bahwa bangsa besar tak diukur dari gedung tinggi, tapi dari kemauan untuk memperbaiki yang runtuh.
Baca Juga: Berita viral terbaru dari ayam, antara tawa dan fakta, dunia tertawa kumpulan kisah viral
Epilog: Di Antara Berita dan Nurani
Berita datang dan pergi, tapi nilai kemanusiaan seharusnya tetap tinggal.
Karena pada akhirnya, bangsa ini bukan dibangun oleh headline, melainkan oleh kesadaran bahwa setiap nyawa, setiap tindakan, dan setiap kata punya makna.
Dan di sela hiruk-pikuk dunia digital, tempat seperti Hore168 mengingatkan kita bahwa hiburan dan informasi bisa berjalan berdampingan — tidak harus kaku, tidak harus hitam putih, asalkan tetap jujur dan berpihak pada akal sehat.