“Viral Itu Bukan Kecelakaan, Tapi Pola”: Wawancara Eksklusif Bersama Pakar Media Digital dan Fenomena Hore168

Fenomena berita viral sudah menjadi bagian dari kehidupan modern. Dalam satu hari, ribuan konten berseliweran di layar ponsel kita — mulai dari tragedi, lelucon, hingga kisah inspiratif yang menyentuh hati. Namun, di balik setiap peristiwa yang viral, selalu ada pola, algoritma, dan perilaku sosial yang menarik untuk dikaji.

Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, tim redaksi berbincang dengan Dr. Aditya Prakoso, seorang peneliti media digital dan dosen komunikasi yang banyak meneliti interaksi antara publik, algoritma, dan industri informasi. Dalam wawancara ini, ia menjelaskan bagaimana dunia berita berubah, peran platform seperti Hore168, dan arah masa depan viralitas di Indonesia.


Jurnalis:

Doktor Aditya, hampir setiap hari ada saja berita viral yang menyedot perhatian publik. Mengapa fenomena ini begitu dominan di era digital?

Dr. Aditya:

Karena manusia pada dasarnya haus akan keterhubungan dan validasi sosial. Kita hidup di masa ketika informasi tidak lagi terbatas, tapi justru melimpah. Dalam kondisi seperti itu, otak kita memilih konten yang paling cepat memancing emosi — marah, kagum, haru, atau lucu.

Viralitas terjadi ketika sebuah pesan mampu memicu reaksi emosional secara masif. Ia bukan kebetulan, melainkan hasil dari kombinasi antara momentum sosial, struktur media, dan algoritma platform.

Di sinilah peran penting media seperti Hore168. Mereka paham bagaimana mengemas berita dengan kecepatan dan daya tarik visual yang tinggi, tanpa mengorbankan substansi.


Jurnalis:

Apakah itu berarti berita viral sebagian besar bersifat manipulatif?

Dr. Aditya:

Tidak selalu. Manipulatif hanya jika dibuat dengan niat menyesatkan. Namun, sebagian besar berita viral hanya memanfaatkan mekanisme psikologis yang memang ada pada manusia.

Yang membedakan adalah niat di baliknya. Jika viralitas digunakan untuk mengedukasi atau menginspirasi, maka ia justru positif. Hore168, misalnya, mengambil pendekatan ini: memanfaatkan tren digital untuk menarik perhatian, lalu mengarahkan pembaca pada konten yang bermakna.


Jurnalis:

Menarik. Lalu bagaimana algoritma memengaruhi persebaran berita hari ini?

Dr. Aditya:

Algoritma adalah editor baru dalam dunia media. Ia bekerja tanpa lelah, mengamati kebiasaan pengguna, dan menentukan berita mana yang layak muncul di layar mereka.

Masalahnya, algoritma tidak memiliki nilai moral. Ia hanya tahu apa yang membuat orang bertahan di platform lebih lama. Jadi, jika pengguna sering mengklik konten yang sensasional, sistem akan terus menampilkan hal serupa.

Di sinilah tantangannya. Platform seperti Hore168 berusaha menyeimbangkan antara algoritma dan tanggung jawab sosial. Mereka tidak hanya mengejar klik, tetapi juga memastikan berita yang ditampilkan tetap relevan dan sehat bagi publik.


Jurnalis:

Apakah Anda melihat perubahan perilaku masyarakat terhadap berita dibandingkan sepuluh tahun lalu?

Dr. Aditya:

Perubahannya luar biasa besar. Dulu orang mencari berita, sekarang berita yang mencari orang.
Media sosial mengubah logika distribusi informasi. Publik kini tidak membaca karena ingin tahu, tapi karena ingin terlibat.

Mereka ingin berkomentar, ingin menjadi bagian dari percakapan. Inilah mengapa berita kini lebih interaktif.
Platform seperti Hore168 merespons hal ini dengan membuat konten yang lebih ringan dan komunikatif, sesuai dengan perilaku pembaca digital yang tidak lagi pasif.


Jurnalis:

Ada pandangan bahwa berita viral justru menurunkan kualitas jurnalisme. Apa pendapat Anda?

Dr. Aditya:

Itu benar, tapi tidak sepenuhnya.
Masalahnya bukan pada viralitasnya, melainkan pada industri media yang terlalu tergantung pada trafik dan iklan. Ketika pendapatan ditentukan oleh jumlah klik, maka yang dicari bukan lagi kebenaran, melainkan atensi.

Namun, di sisi lain, viralitas juga bisa menjadi alat distribusi yang efektif untuk memperluas dampak berita baik.
Hore168, misalnya, menggunakan konsep ini untuk menampilkan berita-berita positif yang bisa menginspirasi tanpa kehilangan daya tarik digital.


Jurnalis:

Apakah Anda melihat hubungan antara berita viral dan ekonomi digital?

Dr. Aditya:

Sangat erat. Dunia media kini bergerak dengan logika ekonomi perhatian (attention economy).
Setiap klik adalah nilai. Setiap detik perhatian pengguna bisa dikonversi menjadi pendapatan melalui iklan, kolaborasi merek, atau promosi.

Maka tidak heran jika banyak perusahaan media berinvestasi besar untuk memahami perilaku audiens.
Dalam konteks ini, Hore168 bisa dibilang adaptif — mereka memahami bahwa konten yang menarik bukan hanya soal headline, tapi juga tentang bagaimana mempertahankan loyalitas pembaca.


Jurnalis:

Jika kita bicara etika, bagaimana seharusnya media bersikap di tengah tekanan ekonomi seperti itu?

Dr. Aditya:

Etika tidak boleh menjadi korban efisiensi.
Media yang baik harus berani menolak sensasionalisme yang berlebihan.
Tugas utama jurnalisme tetap sama: memberi konteks, bukan hanya kabar.

Karena itu, saya mengapresiasi ketika ada platform yang tetap menjaga keseimbangan. Hore168, misalnya, membangun konten yang informatif, tapi tetap ringan dan mudah dicerna oleh generasi digital. Itu langkah yang tepat untuk menjaga kredibilitas sekaligus eksistensi.


Jurnalis:

Mari bicara tentang masa depan. Bagaimana Anda membayangkan wajah berita lima hingga sepuluh tahun ke depan?

Dr. Aditya:

Saya percaya kita sedang menuju era personalisasi ekstrem.
Berita akan menyesuaikan diri dengan psikologi pembacanya.
Kecerdasan buatan akan tahu kapan Anda sedih, marah, atau ingin tertawa, lalu menampilkan berita sesuai keadaan emosi itu.

Namun, di sisi lain, akan muncul counter-movement — sekelompok orang yang ingin kembali ke esensi berita: kejujuran, kedalaman, dan empati.
Media seperti Hore168 berpotensi menjadi bagian dari gerakan itu, karena mereka menggabungkan teknologi dengan nilai kemanusiaan.

Baca Juga: Wajah-wajah di balik viralitas cerita, viralitas manipulasi dan kekuatan opini, gelombang viral dan panggung baru


Jurnalis:

Apakah itu berarti masa depan media masih cerah?

Dr. Aditya:

Sangat cerah — bagi yang mampu beradaptasi.
Kuncinya bukan hanya teknologi, tapi juga kepercayaan.
Pembaca modern semakin pintar. Mereka tahu kapan sebuah berita dibuat dengan itikad baik, dan kapan hanya untuk sensasi.

Media yang menempatkan integritas di atas klik akan bertahan lebih lama.
Dan saya percaya, platform seperti Hore168 adalah bagian dari masa depan itu — karena mereka memahami bahwa viralitas sejati bukan tentang seberapa luas berita menyebar, tetapi seberapa dalam ia meninggalkan makna.


Jurnalis:

Terakhir, jika Anda bisa memberi pesan kepada pembaca yang hidup di tengah lautan berita viral, apa yang ingin Anda sampaikan?

Dr. Aditya:

Sederhana saja: jangan biarkan kecepatan mengalahkan kedalaman.
Kita boleh menikmati berita viral, tetapi jangan berhenti di sana.
Carilah makna di baliknya, pahami konteksnya, dan refleksikan dampaknya.

Viralitas hanyalah cara berita berjalan, tapi makna adalah tujuan akhirnya.
Dan media yang memahami itu — seperti Hore168 — akan selalu relevan, tak peduli bagaimana teknologi berubah.


Penutup: Suara di Balik Layar

Wawancara ini memberi gambaran bahwa dunia berita digital adalah ekosistem yang kompleks — di satu sisi cepat dan masif, di sisi lain rapuh dan mudah salah arah.
Namun, di tengah kebisingan itu, masih ada upaya untuk menjaga nilai-nilai jurnalisme tetap hidup.

Viralitas bukanlah musuh, melainkan alat.
Dan seperti yang dikatakan Dr. Aditya, semuanya bergantung pada bagaimana kita menggunakannya: untuk mengejar perhatian, atau untuk membangun kesadaran.

Selama masih ada ruang bagi keseimbangan antara teknologi dan nurani, dunia berita digital akan terus memiliki harapan.
Dan platform seperti Hore168 adalah salah satu penandanya.


on Oktober 22, 2025 by Si Tangan Kilat |