Suasana Pagi di Pasar Lama
Pukul tujuh pagi, suasana Pasar Lama di kota Tangerang masih diselimuti aroma sayur dan kopi. Di ujung lorong, seorang pedagang gorengan bernama Sumarni sibuk melayani pembeli. Wajahnya tersenyum, tangannya cekatan, tapi matanya sempat melirik ke layar ponsel yang menempel di dinding warung.
“Saya cuma lihat-lihat berita viral, biar nggak ketinggalan,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Hari itu, video yang ramai diperbincangkan adalah tentang seorang bocah sekolah dasar yang menolong temannya menyeberang jalan sambil memegang payung di tengah hujan.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, video itu sudah disebarkan ke ribuan akun dan menjadi bahan berita di berbagai kanal. “Lucu, tapi juga bikin haru,” kata Sumarni lagi. “Sekarang, apa pun bisa jadi viral. Orangnya mungkin nggak sadar kalau sedang direkam.”
Fenomena seperti ini kini menjadi wajah baru kehidupan sosial Indonesia — di mana peristiwa sederhana bisa menjelma jadi bahan pembicaraan nasional dalam hitungan menit.
Di Antara Realitas dan Layar
Tim redaksi Hore168 mencoba menelusuri lebih jauh fenomena di balik arus viral yang tak pernah berhenti itu. Dari pasar hingga kampus, dari warung kopi sampai ruang redaksi, semua orang kini hidup berdampingan dengan layar kecil yang mampu mengubah nasib seseorang.
Di sisi lain kota, seorang mahasiswa komunikasi bernama Dimas mengaku dirinya kini belajar lebih banyak dari video viral dibandingkan dari buku kuliah.
“Kadang ada yang konyol, tapi kadang ada juga yang inspiratif,” ujarnya. “Masalahnya, kita sering nggak tahu mana yang nyata, mana yang settingan.”
Dimas benar. Banyak video viral yang ternyata tidak sepenuhnya autentik. Ada yang direka ulang untuk menarik simpati, ada yang dimanipulasi untuk mengangkat nama tertentu.
Namun di tengah banjir konten semu itu, kisah nyata masih punya kekuatan sendiri — karena ia lahir dari spontanitas dan ketulusan.
Suatu Sore di Pinggir Jalan
Sore hari, di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, tim Hore168 bertemu dengan Rino, seorang pengemudi ojek daring yang sempat viral bulan lalu.
Namanya dikenal publik setelah video dirinya menolong pengendara mobil mogok di tengah hujan tersebar di media sosial.
Namun, viralitas itu membawa dua sisi mata uang.
“Awalnya senang, banyak yang kasih pujian,” ujarnya. “Tapi beberapa hari kemudian, saya jadi nggak nyaman. Orang minta foto di jalan, ada yang buat akun palsu pakai nama saya.”
Rino akhirnya memilih menghapus akun lamanya dan membuat baru tanpa menampilkan wajahnya lagi.
Cerita Rino menggambarkan sisi gelap dari dunia viral: popularitas instan yang datang tanpa persiapan, tanpa perlindungan privasi, dan tanpa kendali penuh dari si tokoh utama.
Viral Sebagai Cermin Sosial
Fenomena viral tidak hanya mencerminkan perilaku pengguna media sosial, tetapi juga menggambarkan bagaimana masyarakat merespons peristiwa di sekitar mereka.
Menurut pengamatan redaksi Hore168, ada tiga kategori besar penyebab viralitas di Indonesia:
-
Viral emosional — kisah yang menggugah perasaan, seperti bantuan spontan, aksi heroik, atau tragedi.
-
Viral hiburan — konten ringan, lucu, atau absurd yang mudah dikonsumsi tanpa berpikir panjang.
-
Viral konflik — pertengkaran, kontroversi, atau perdebatan publik yang memicu komentar massal.
Ketiganya berputar dalam siklus cepat: muncul, ramai, lalu lenyap tergantikan oleh viral berikutnya.
Namun, di balik perputaran cepat itu, ada pola yang lebih dalam: publik haus akan cerita. Mereka ingin menemukan kejujuran, keterhubungan, dan refleksi dari kehidupan nyata yang sering luput dari media formal.
Dari Netizen ke Pemberita
Dalam satu dekade terakhir, batas antara “pembaca” dan “wartawan” semakin kabur.
Kini siapa pun bisa menjadi sumber berita. Satu kamera ponsel sudah cukup untuk merekam peristiwa, dan satu unggahan cukup untuk mengubah narasi nasional.
“Waktu ada kebakaran di depan rumah, saya langsung rekam dan kirim ke grup,” kata Rani, warga Bekasi yang videonya pernah dipakai di tayangan televisi. “Nggak nyangka bisa viral. Tapi saya senang, karena banyak orang jadi tahu.”
Cerita Rani menunjukkan transformasi besar dalam jurnalisme rakyat.
Namun, redaksi Hore168 mengingatkan bahwa viral bukan berarti benar.
Kebenaran tetap butuh verifikasi, dan empati tetap harus dijaga. Karena di balik setiap video viral, selalu ada manusia nyata dengan cerita yang lebih panjang dari sekadar satu menit tayangan.
Antara Sensasi dan Substansi
Meski banyak yang memanfaatkan viralitas untuk kepentingan pribadi, ada pula yang menggunakannya untuk tujuan positif.
Misalnya, gerakan sosial #DariWargaUntukWarga yang sempat viral di beberapa kota. Inisiatif ini mengajak masyarakat saling membantu, mengumpulkan dana, dan menyebarkan informasi tentang warga kurang mampu di sekitar mereka.
Hore168 mencatat bahwa kampanye semacam ini menjadi contoh terbaik dari penggunaan viral untuk kemanusiaan.
Ketika publik menyebarkan hal baik, dampaknya tidak hanya di dunia maya, tapi juga di kehidupan nyata.
Potret Senja dan Refleksi
Menjelang senja, langit Jakarta berubah oranye. Di salah satu kafe kecil di kawasan Menteng, sekelompok anak muda berbincang tentang topik yang sama: apa yang baru viral hari ini.
Topik berganti dari video lucu ke kasus hukum, lalu ke isu lingkungan.
Baca Juga: Geliat berita dan fenomena viral, peta umum kondisi berita dan viral saat ini, dunia yang terlalu lucu untuk tidak ditertawakan
Dari luar, percakapan mereka terdengar seperti obrolan biasa. Tapi di baliknya, terselip fenomena menarik: generasi muda kini membentuk opini sosial mereka dari hal-hal viral yang mereka lihat setiap hari.
Mereka tidak lagi menunggu media arus utama. Mereka menyaring, menafsir, dan menyebarkan ulang versi mereka sendiri.
Hore168 menilai bahwa di sinilah masa depan media berada: pada kolaborasi antara jurnalisme profesional dan kesadaran publik digital.
Ketika dua hal itu berjalan beriringan, viralitas bisa menjadi jembatan, bukan jurang.
Penutup: Antara Kamera dan Kemanusiaan
Viral bukan lagi sekadar peristiwa digital; ia telah menjadi bagian dari cara kita melihat dunia.
Tapi di balik setiap tayangan yang ramai dibicarakan, selalu ada nilai kemanusiaan yang perlu dipertahankan — empati, akurasi, dan rasa hormat pada privasi.
Di ruang redaksi Hore168, kami percaya bahwa tugas media bukan hanya melaporkan apa yang viral, tetapi juga memahami mengapa itu viral, dan apa yang bisa dipelajari darinya.
Karena pada akhirnya, berita bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling peduli pada kebenaran.